Mari Belajar dan Terus Belajar, Membenahi Diri
65 hari 16 jam 10 menit 45 detik
Menuju Awal Puasa Ramadhan 2023

23 Maret 2023

Selasa, 25 Maret 2014

Motivasi Dalam Hidup Yang Menjadikan Hidup Lebih Bermakna

Bagaimana Motivasi Dalam Hidup Anda?

Motivasi dalam hidup bagi setiap orang mungkin akan berbeda sesuai dengan keinginan dan mimpi masing-masing. Bahkan bagi orang yang malas pun punya mimpi, yaitu tetap bisa bermalas-malasan sambil kebutuhannya tetap terpenuhi. Mungkin motivasi dalam hidup mereka itu mustahil, namun pada dasarnya mereka tetap punya keinginan.
Namun sekarang kita tidak akan bicara motivasi dalam hidup mereka, sekarang kita fokus berbicara motivasi alam hidup Anda. Bukan sekedar motivasi, tetapi motivasi yang mejadikan hidup kita lebih bermakna.
Seperti disebutkan diatas, semua orang punya motivasi dalam hidup mereka, pertanyaannya adalah apakah motivasi tersebut menjadikan hidup kita bermakna atau sekedar memenuhi keinginan sesaat, keinginan duniawi, atau hanya mencari sensasi dalam hidupnya.

Apa yang dimaksud hidup bermakna?

Para motivator dan guru sering mengatakan bahwa untuk menjadikan hidup kita lebih bermakna, harus harus melihat nilai-nilai hidup yang kita anut.
Kesalahan metode menemukan nilai, yang sering terjadi, adalah saat kita diajarkan untuk menemukan nilai-nilai yang sudah ada dalam diri kita, kemudian kita tuliskan untuk diingat kembali sebagai panduan dalam hidup kita.

Dimana letak kesalahannya?

Saat kita merunungkan apa nilai-nilai dalam diri kita, artinya kita menggali memori yang ada dalam hati dan pikiran kita. Masalah, dari mana memori kita dapatakan? Yang paling banyak adalah dari media.
Selain media, informasi yang masuk ke dalam pikiran kita juga berasal dari pembicaraan, bacaan yang kita baca, apa yang kita dengar dan sebagainya. Sumber memori kita adalah campur aduk.
Karena sumber memori kita campur aduk dari berbagai sumber, maka kebenarannya tidak ada yang bisa menjamin. Ini yang sering kita lupakan. Bisa jadi, ada nilai-nilai yang sebenarnya tidak benar atau tidak sesuai dengan ajaran Islam, kemudian kita gunakan sebagai panduan hidup kita. Ini bahaya, dan kehadiran Motivasi Islami salah satunya memperhatikan masalah ini.
Sumber nilai yang paling utama bagi kita sebagai seorang Muslim adalah Al Quran dan hadist shahih. Sungguh aneh jika kita suka melupakan sumber nilai utama ini. Nilai-nilai dari Al Quran dan Hadist-lah yang akan menyelamatkan hidup kita dunia dan akhirat.
Coba kita renungkan, mana yang paling dominan masuk ke dalam kepala kita, apakah Al Quran dan Hadist atau informasi dari media?
Untuk itulah kita harus selalu mengecek apakah nilai yang kita yakini adalah sesuai dengan nilai Islam atau tidak. Kebanyakan metode pengambangan diri saat ini hanya sejauh menemukan nilai tanpa memvalidasi nilai yang mereka temukan.
Mulai sekarang, saat kita akan merenungkan nilai-nilai untuk kita jalani, ada 2 hal yg harus perhatikan:
  1. Pastikan nilai utama kita tidak lain adalah ibadah, karena tidak ada tujuan lain dalam hidup kita kecuali ibadah.
  2. Apa pun nilai yg kita temukan, harus dipastikan itu adalah sesuai atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Cara mengetahuinya adalah kita memiliki ilmu tentang nilai-nilai Islam yang memadai atau bertanya kepada ulama tentang nilai yang kita anut.

Inilah Motivasi Dalam Hidup Sebenarnya

Jadi dalam menentukan motivasi dalam hidup kita harus memastikan sesuai dengan nilai-nilai Islam, bukan nilai-nilai diri kita sendiri yang belum tentu islami. Kalau pun ada nilai yang kita dapatkan dalam pemikiran kita, guru, atau ahli lainnya, pastikan itu semua tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.

Motivasi Dalam Hidup Sejati adalah Ibadah

Jika kita menjadikan Allah sebagai motivasi dalam hidup kita yang utama, maka bisa dipastikan hidup kita akan lebih bermakna, baik untuk dunia dan akhirat. Sebab, Arti Hidup sebenarnya adalah memang ibadah. Baca juga:
Ibadah yang dimaksud adalah bukan hanya ibadah ritual saja, namun kehadiran kita di dunia seutuhnya adalah untuk beribadah, hanya untuk, karena, dan bertuju kepada Allah semata. Segala aktivitas kita harus dalam rangka ibadah semata.
Sebagai contoh, saat kita berbisnis, apakah bisnis kita bernilai ibadah? Minimal kita niatkan bahwa berbisnis adalah untuk menunaikan kewajiban kita dalam mencari nafkah untuk keluarga.
Namun tidak sebatas itu, saat nilai Islam sudah tertanam kuat, bahwa dakwah dan jihad adalah kewajiban, dia akan menjadikan bisnisnya memiliki nilai-nilai dakwah. Dia akan menjadikan bisnisnya sambil mensyiarkan nilai-nilai Islam baik untuk karyawan dan konsumennya.
Pemilihan produk atau jasa pun tidak akan sembarangan, tidak akan memilih produk haram, bahkan akan lebih memilih produk dan jasa yang memberikan manfaat bagi dakwah. Minimal produk dan jasa yang halal.
Hidup seorang tukang daging bisa lebih bermakna dibandingkan tukang daging lainnya. Saat dia menjual daging yang dijamin kehalalannya, dengan timbangan yang sesuai tanpa dikurangi dan pakaian yang menutup aurat, jelas dia sudah menjalankan bisnis yang islami, bisnis yang bernilai ibadah, dan tentu akan lebih bermakna. Kuncinya adalah niat dan cara menjalankan bisnisnya.
Saat Anda berpikir, ah tidak harus seperti itu, yang penting pekerjaan itu halal. Ini adalah gambaran nilai yang Anda anut. Nilainya sudah islami, sudah bagus, namun baru sebatas untuk diri sendiri. Nilai dakwahnya belum tertanam sehingga Anda anggap tidak penting.

Cinta adalah Motivasi Yang Memberi Makna

Islam mengajarkan kita untuk mencintai. Mulai mencintai diri sendiri agar kita tidak dzalim terhadap diri sendiri. Cinta kepada orang tua, cinta kepada suami atau istri, cinta kepada anak-anak, cinta kepada seluruh kaum Muslimin seperti mencintai dirinya sendiri.
Cinta yang memberi makna adalah cinta karena Allah dan tidak mengalahkan cinta kita kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta bukan sembarang cinta. Cinta yang menjadikan hidup lebih indah, lebih bermakna, dan membawa kepada keselamatan hidup dunia akhirat.
Maka jadikanlah cinta yang seperti ini sebagai nilai hidup kita. Dunia akan lebih indah saat dipenuhi dengan cinta. Tidak akan ada lagi kebencian dan dengki, yang tinggal kemauan untuk memberi dan membahagiakan orang-orang yang dia cintai seperti disebutkan diatas.
Bukan cinta yang justru mengandung dosa. Cinta kepada lawan jenis yang belum halal, cinta kepada golongannya sendiri dengan fanatik, cinta kepada idola sampai mengikuti yang dilakukan idola tanpa melihat nilai-nilai yang mereka bawa.
Lihatlah motivasi cinta berikut ini, sungguh indah dan menjadikan hidup bermakna:
  1. Bagaimana motivasi seorang ibu atau orang tua yang bekerja keras agar masa depan anak-anaknya lebih baik. Ini karena sang orang tua begitu besar cintanya kepada anak-anaknya, cinta karena Allah karena anak adalah amanah dari Allah.
  2. Begitu juga, bagaimana motivasi belajar dan bekerja seorang anak demi membahagiakan orang tuanya. Cinta karena Allah, sebab berbakti kepada orang tua adalah perintah Allah.
  3. Bagaimana indahnya saat seorang pejuang yang terus berjuang demi umat Islam, mengalahkan kepentingannya sendiri, meski pun dia dicaci dan difitnah. Karena berjuang membela agama Allah karena perintah-Nya.
Semuanya karena cinta, bukan sekedar cinta tetapi cinta karena Allah. Inilah motivasi dalam hidup yang menjadikan hidup kita akan terasa lebih bermakna.

PENDIDIKAN AGAMA, MEMBEKALI ANAK PENDIDIKAN AGAMA SEJAK DINI KEWAJIBAN ORANG TUA


Anak adalah amanah Allah kepada manusia. Ia bukan sekedar pelengkap kehidupan dan penerus generasi untuk melestarikan keturunan. Selain merupakan anugerah, dalam diri setiap anak terkandung tanggung jawab orang tua yang teramat besar.
Anak lahir ke dunia sebagai sosok manusia yang harus dijaga, dipelihara dan diberikan didikan kebaikan oleh orang tuanya. Terutama sekali didikan agama, merupakan tanggung jawab asasi yang harus ditunaikan. Karena agama merupakan hal paling pentig di dalam kehidupan setiap manusia.

Manusia diciptakan oleh Allah, diberi rejeki dan aneka kelengkapan untuk hidup di dunia ini, maka manusia haruslah mengikuti aturan dan ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aturan, nilai dan prinsip keimanan yang diyakini dan diamalkan oleh manusia harus sesuai dengan apa yang Allah mau. Semua terpapar dalam ajaran agama secara detil.
Oleh karena itu agama bukan hanya harus diyakini oleh manusia, namun juga harus diketahui imunya dan dipraktekkan dalam kehidupan nyata. DI sinilah peran sentral orang tua, sebagai penanggung jawab anak di muka bumi ini, yang mana dari orang tua inilah jalan kelahiran manusia.
Lalu bagaimanakah jika orang tua sendiri tak menguasai ilmu agama yang cukup?
Memberikan pelajaran agama tak mesti harus dilakukan sendiri. Jika orang tua tak memiliki ilmu yang cukup, maka boleh saja ia meminta orang lain untuk mengajari anaknya. Bisa dngan mengarahan anak untuk ikut pengajian dan majelis taklim, bahkan hingga memasukkan mereka ke dalam lembaga pendidikan agama seperti madrasah dan pesantren.
Intinya, adalah bagaimana orang tua berjuang menjadikan anaknya sebagai orang yang faham ilmu agama. Boleh jadi ia angsung memberikan didikan boleh jadi pula melalui orang lain yang dianggap lebih memiliki pengetahuan.
Apapun profesi sang anak nantinya ilmu agama beserta pengamalan yang benar dalam kehidupan haruslah menjadi satu kesatuan. Mungkin ia menjadi dokter, guru, pedagang, ataupun pegawai, itu bukanlah masalah,  selama jiwanya telah diisi dengan keimanan, akhlaqnya telah dibentuk menjadi akhlaq yag mulia dan segala amal perbuatannya mentaati aturan agama.
Menjadi orang tua tak hanya berfungsi sebagai penyebab lahirnya anak ke dunia, namun juga menjadi pengemban amanah untuk menjadikanya hamba Allah yang beriman dan bertaqwa. Anak merupakan anugerah sekaligus tanggung jawab besar yang akan kita pertanggung jawabkan di hari akhirat kelak.  Wallahu ‘lam bish showab.

Jumat, 21 Maret 2014

Tausiah "(TELADAN) ILMU ADALAH PENERANG DAN PENYEBAB KEBERKAHAN ILMU"


(TELADAN) ILMU ADALAH PENERANG DAN PENYEBAB KEBERKAHAN ILMU


Para sahabat, tabi'in dan generasi awal Islam memiliki kesungguhan yang luar biasa dalam menuntut ilmu. Mereka rela bersusah payah dan mengadakan perjalanan yang jauh demi mendapatkan penafsiran sebuah ayat atau meriwayatkan sebuah hadits dari seorang ulama. Inilah kisah imam Sa'id bin Musayyib Al-Madani (wafat tahun 94 H), seorang ulama besar tabi'in, penghulu generasi tabi'in dan menantu sahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu. Ulama tafsir, hadits dan sejaran Islam, imam Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi dalam Al-Bidayah wan Nihayah menulis tentang biografi imam Sayid bin Musayyib: "Imam Malik meriwayatkan dari imam Yahya bin Sa'id dari Sa'id bin Musayyib berkata: "Saya dahulu mengadakan perjalanan jauh selama beberapa hari dan beberapa malam demi mendapatkan satu hadits."
Inilah kisah ulama besar generasi tabi'in di negeri Syam, imam Makhlul Asy-Syami (wafat tahun 112 H). Ulama hadits dan sejarawan Islam, imam Adz-Dzahabi menulis dalam Tadzkiratul Hufazh: "Dari Ibnu Ishaq berkata: Saya mendengar Makhul berkata: "Saya telah berkeliling dunia untuk menuntut ilmu." Abu Wahb meriwayatkan bahwa Makhul berkata: "Saya dimerdekakan di Mesir, maka aku tidak membiarkan seorang ulama pun di Mesir melainkan ilmunya telah aku kuasai. Aku kemudian pergi ke Irak dan Madinah, maka aku tidak membiarkan seorang ulama pun di kedua negeri itu melainkan ilmunya telah aku kuasai. Aku kemudian mendatangi negeri Syam maka aku menyaring ilmu para ulamanya."
Inilah kisah ulama besar tabi'in, Abul 'Aliyah Rufai' bin Mihran Ar-Riyahi Al-Bashri (wafat tahun 93 H). Ulama hadits dan sejarawan Islam, imam Al-Khathib Al-Baghdadi, dalam bukunya Ar-Kifayah fi Ilmir Riwayah menulis: "Abul Aliyah berkata: "Kami mendengar riwayat hadits dari para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam saat kami berada di Bashrah, maka kami tidak puas sampai kami mengadakan perjalanan ke Madinah untuk mendengar hadits-hadits tersebut secara langsung dari mulut para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam."
Inilah kisah ulama besar generasi tabi'in kota Basrah, imam Abu Qilabah Abdullah bin Zaid Al-Jarmi Al-Bashri (wafat tahun 104 H). Imam Al-Khathib Al-Baghdadi dalam Ar-Rihlah fi Thalabil Hadits menulis: "Imam Abu Qilabah berkata: "Saya tinggal di Madinah selama tiga bulan, saya tidak memiliki kepentingan di kota ini, selain menunggu kedatangan seorang (sahabat) yang telah sampai berita kepadaku bahwa ia meriwayatkan sebuah hadits. Sampai berita kepadaku bahwa ia akan datang, maka aku menunggu kedatangannya sampai ia datang, sehingga ia bisa menceritakan kepadaku hadits tersebut."
Tauladan mereka dalam mengadakan perjalanan jauh demi menuntut ilmu adalah nabiyullah dan kalimullah, Musa 'alaihis salam. Meski beliau adalah seorang nabi dan rasul yang mendapat predikat ulul azmi dan kalimullah (orang yang pernah berbicara secara langsung dengan Allah), beliau tidak malu dan malas untuk berjalan jauh demi menuntut ilmu. Allah mengabadikan kisahnya dalam firman-Nya:
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا (60) فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا (61) فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (62) قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا (63) قَالَ ذَلِكَ مَا كُنَّا نَبْغِ فَارْتَدَّا عَلَى آثَارِهِمَا قَصَصًا (64) فَوَجَدَا عَبْدًا مِنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِنْدِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا (65) قَالَ لَهُ مُوسَى هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِ مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا (66)
Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti berjalan sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun-tahun."
Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.
Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah ke mari makanan kita, sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini."
Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali."
Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.
Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.
Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?" (QS. Al-Kahfi [18]: 60-66, baca juga kelanjutan kisahnya sampai ayat 82)
Teladan mereka adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salam yang telah mengajarkan:
مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللَّهُ لَهُ طَرِيقًا إِلَى الجَنَّةِ
"Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu (Syariat), niscaya Allah mudahkan baginya jalan ke surga." (HR. Abu Daud no. 3641, Tirmidzi no. 2646 dan Ibnu Majah no. 223)
Semoga kita bisa mewarisi dan meneladani kesungguhan mereka dalam mendalami ilmu syariat Islam ini.
Daftar pustaka: Rysna, Mugni Agnina. 2013, "(TELADAN) ILMU ADALAH PENERANG DAN PENYEBAB KEBERKAHAN ILMU". http://www.paseban.com/yusufmansur/discussions/6092 (17 Oct 2012)

Tausiah "PESAN IMAM AL GHAZALI"


PESAN IMAM AL GHAZALI


Pertama, “Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?”. Murid- muridnya menjawab “Orang tua, guru, kawan ,dan sahabatnya”. Imam Ghozali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah “mati”. Sebab, sesuai dengan janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati.(Ali Imran : 185)
Kedua.”Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawab “Negara Cina, bulan, matahari dan bintang-bintang”. Lalu Imam Ghozali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan itu adalah benar. Tapi yang paling benar adalah “masa lalu”. Walau dengan cara apa sekalipun kita tidak dapat kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.
Ketiga. “Apa yang paling besar di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawab “Gunung, bumi dan matahari”. semua jawaban itu benar, kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “nafs” (Al-A’raaf :179). Maka kita harus berhati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.
Keempat. “Apa yang paling berat di dunia ini?”. Ada yang menjawab “besi dan gajah” Semua jawaban adalah benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah “memegang amanah” (Al-Ahzab:72) Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak dapat memegang amanahnya.
Kelima. “Apa yang paling ringan di dunia ini?” Ada yang menjawab “Kapas, angin, debu dan daun-daunan”. Semua itu benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling ringan di dunia ini adalah “meninggalkan sholat”. Gara-gara pekerjaan, kita meninggalkan sholat; gara-gara bermasyarakat, kita meninggalkan sholat.
Keenam. “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”. Murid-muridnya menjawab dengan serentak, “pedang”. Benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling tajam adalah “lidah manusia” Karena melalui lidah, Manusia selalunya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.
Daftar pustaka: Alfathh, (2012)."Pesan Imam Al-ghazali". http://alfathh.wordpress.com/pesan-imam-al-ghazali/(2010/04/17)