Mari Belajar dan Terus Belajar, Membenahi Diri
65 hari 16 jam 10 menit 45 detik
Menuju Awal Puasa Ramadhan 2023

23 Maret 2023

Tampilkan postingan dengan label TAUHID. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label TAUHID. Tampilkan semua postingan

Selasa, 10 Januari 2023

Menjaga Kalimat Tauhid namun Abaikan Intinya, Ini Pesan Imam Al-Ghazali

 


Imam Al-Ghazali mengingatkan kita untuk menjaga kalimat tauhid yang sangat mulia, lā ilāha illallāh, tiada tuhan selain Allah. Imam Al-Ghazali juga mengingatkan kita untuk memperhatikan substansi pesan dari kalimat tauhid tersebut. 

Menurutnya, tauhid merupakan substansi yang sangat penting dan berharga. Oleh karena itu, substansi tauhid mesti diperhatikan betul oleh mereka yang mengucapkan tahlil, lā ilāha illallāh, sebagai kalimat tauhid.

Imam Al-Ghazali menyayangkan banyak orang lebih memperhatikan kulitnya sebagai permukaan tauhid daripada inti atau substansi tauhid itu sendiri. 

والتوحيد جوهر نفيس وله قشران أحدهما أبعد عن اللب من الآخر فخصص الناس الاسم بالقشر وبصنعة الحراسة للقشر وأهملوا اللب بالكلية

Artinya: “Tauhid merupakan mutiara berharga. Ia memiliki dua kulit permukaan, salah satunya dibanding yang lain lebih jauh dari inti mutiara tersebut. Banyak orang mengistimewakan sebutan kulit permukaan tersebut dan aktivitas menjaga kulit permukaan itu serta mengabaikan mutiara tauhid sebagai intinya secara keseluruhan,” (Imam Al-Ghazali, Kitab Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 49). 

Imam Al-Ghazali kemudian menjelaskan rinci dua kulit permukaan dan inti tauhid. Kulit pertama, ucapan secara lisan kalimat tauhid, lā ilāha illallāh. Ucapan tauhid ini mengandung tauhid penolakan tatslits yang diungkapkan kaum nashara. 

Kulit pertama ini memiliki potensi masalah. Kulit permukaan ini paling jauh dari substansi tauhid. Kenapa? Kalimat tauhid juga diucapkan oleh kaum munafik, yaitu jenis orang kafir yang ucapannya bertolak belakang dengan keyakinan hatinya. 

Kulit kedua, sebuah keyakinan yang tidak mengandung keraguan, penentangan, dan pengingkaran terhadap substansi pesan pada kalimat tauhid, lā ilāha illallāh. Keyakinan dan pembenaran atas keesaan Allah sebagai pesan kalimat tauhid ini akidah masyarakat awam dan kaum teolog yang menjaga kemurnian tauhid dari potensi heterodoks.

والثالث وهو اللباب أن يرى الأمور كلها من الله تعالى رؤية تقطع التفاته عن الوسائط وأن يعبده عبادة يفرده بها فلا يعبد غيره

Artinya: “Ketiga adalah inti atau substansi tauhid, yaitu keyakinan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah, sebuah keyakinan yang mengalihkan pandangan dari sebab; dan penyembahan kepada Allah dengan keesaan ibadah tanpa menyembah yang lain,” (Imam Al-Ghazali, Kitab Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 50). 

Menurut Imam Al-Ghazali, semua bentuk dan jenis apapun yang dipertuhankan tidak termasuk ke dalam inti tauhid yang ketiga. Imam Al-Ghazali mengutip Surat Al-Jatsiyah ayat 23 dan hadits riwayat At-Thabarani.

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ 
Artinya: “Apakah kau tidak memperhatikan orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai tuhannya?” (Surat Al-Jatsiyah ayat 23). 

وقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْه وَسَلَمَّ أَبْغَضُ إِلهٍ عُبِدَ فِي الأَرْضِ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى هُوَ الهَوَى 

Artinya: “Rasulullah saw bersabda, ‘Tuhan sesembahan di bumi yang paling dibenci oleh Allah adalah hawa nafsu,’” (HR At-Thabarani). Demikian keterangan Imam Al-Ghazali seputar tauhid baik kulit lapisan permukaan maupun inti atau substansi tauhid.

Wallahu a’lam. 



Kamis, 08 September 2016

CARA MENGENAL ALLAH



Syeikh Ahmad Arifin berpendapat bahwa setiap yang ada pasti dapat dikenal dan hanya yang tidak ada yang tidak dapat dikenal. Karena Allah adalah zat yang wajib al-wujud yaitu zat yang wajib adanya, tentulah Allah dapat dikenal, dan kewajiban pertama bagi setiap muslim adalah terlebih dahulu mengenal kepada yang disembahnya, barulah ia berbuat ibadah sebagimana sabda Nabi :
أَوَلُ الدِّيْنِ مَعْرِفَةُ اللهِ
Artinya: “Pertama sekali di dalam agama ialah mengenal Allah

Kenallah dirimu, sebagaimana sabda Nabi SAW
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ وَمَنْ عَرَفَ رَبَّهُ فَسَدَ جَسَدَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya, dan barangsiapa yang mengenal Tuhannya maka binasalah (fana) dirinya.
            Lalu diri mana yang wajib kita kenal? Sungguhnya diri kita terbagi dua sebagaimana firman Allah dalam surat Luqman ayat 20 :
وَأَسْبَغَ عَليْكُمْ نِعَمَهُ ظَهِرَةً وَبَاطِنَةً
Artinya : Dan Allah telah menyempurnakan bagimu nikmat zahir dan nikmat batin.

Jadi berdasarkan ayat di atas, diri kita sesungguhnya terbagi dua:
1.  Diri Zahir yaitu diri yang dapat dilihat oleh mata dan dapat diraba oleh tangan. 
2. Diri batin yaitu yang tidak dapat dipandang oleh mata dan tidak dapat diraba oleh tangan, tetapi dapat dirasakan oleh mata hati. 

Adapun dalil mengenai terbaginya diri manusia Karena sedemikian pentingnya peran diri yang batin ini di dalam upaya untuk memperoleh pengenalan kepada Allah, itulah sebabnya kenapa kita disuruh melihat ke dalam diri (introspeksi diri)  sebagimana firman Allah dalam surat az-Zariat ayat 21 :
وَفِى اَنْفُسِكُمْ اَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ
Artinya : Dan di dalam diri kamu apakah kamu tidak memperhatikannya.


Allah memerintahkan kepada manusia untuk memperhatikan ke dalam dirinya disebabkan karena di dalam diri manusia itu Allah telah menciptakan sebuah mahligai yang mana di dalamnya Allah telah menanamkan rahasia-Nya sebagaimana sabda Nabi di dalam Hadis Qudsi :
بَنَيْتُ فِى جَوْفِ اِبْنِ آدَمَ قَصْرًا وَفِى الْقَصْرِ صَدْرً وَفِى الصَّدْرِ قَلْبًا وَفِى الْقَلْبِ فُؤَادً وَفِى الْفُؤَادِ شَغْافًا وَفِى الشَّغَافِ لَبًّا وَفِى لَبِّ سِرًّا وَفِى السِّرِّ أَنَا (الحديث القدسى) 
Artinya: “Aku jadikan dalam rongga anak Adam itu mahligai dan dalam mahligai itu ada dada dan dalam dada itu ada hati (qalbu) namanya dan dalam hati (qalbu) ada mata hati (fuad) dan dalam mata hati (fuad) itu ada penutup mata hati (saghaf) dan dibalik penutup mata hati (saghaf) itu ada nur/cahaya (labban), dan di dalam nur/cahaya (labban) ada rahasia (sirr) dan di dalam rahasia (sirr) itulah Aku kata Allah”. (Hadis Qudsi)

Bagaimanakah maksud hadis ini? Tanyalah kepada ahlinya, yaitu ahli zikir, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nahal ayat 43 :
فَاسَئَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Tanyalah kepada ahli zikrullah (Ahlus Shufi) kalau kamu benar-benar tidak tahu.”
            
Karena Allah itu ghaib, maka perkara ini termasuk perkara yang dilarang untuk menyampaikannya dan haram pula dipaparkan kepada yang bukan ahlinya (orang awam), seabagimana dikatakan para sufi :
وَلِلَّهِ مَحَارِمٌ فَلاَ تَهْتَكُوْهَا
Artinya: “Bagi Allah itu ada beberapa rahasia yang diharamkan membukakannya kepada yang bukan ahlinyah”.

Nabi juga ada bersabda :
وَعَائِيْنِ مِنَ الْعِلْمِ اَمَّا اَحَدُ هُمَا فَبَشَتْتُهُ لَكُمْ وَاَمَّااْلأَخِرُ فَلَوْبَثَتْتُ شَيْئًا مِنْهُ قَطَعَ هَذَالْعُلُوْمَ يَشِيْرُ اِلَى حَلْقِهِ  
Artinya: “Telah memberikan kepadaku oleh Rasulullah SAW dua cangkir yang berisikan ilmu pengetahuan, satu daripadanya akan saya tebarkan kepada kamu. Akan tetapi yang lainnya bila saya tebarkan akan terputuslah sekalian ilmu pengetahuan dengan memberikan isyarat kepada lehernya.
اَفَاتُ الْعِلْمِ النِّسْيَانُ وَاِضَاعَتُهُ اَنْ تَحَدَّثْ بِهِ غَيْرِ اَهْلِهِ
Artinya : “Kerusakan dari ilmu pengetahuan ialah dengan lupa, dan menyebabkan hilangnya ialah bila anda ajarkan kepada yang bukan ahlinya.”


Adapun tentang Ilmu Fiqih atau Syariat Nabi bersabda:
بَلِّغُوْا عَنِّى وَلَوْ اَيَةً
Artinya: “Sampaikanlah oleh kamu walau satu ayat saja”.


Adapun Ilmu Fiqih tidak boleh disembunyikan, sebagaimana sabda Nabi SAW:
مَنْ كَتَمَ عِلْمًا لِجَمِّهِ اللهِ بِلِجَامٍ مِنَ النَّارِ
Artinya: “Barangsiapa yang telah menyembunyikan suatu ilmu pengetahuan (ilmu syariat) akan dikekang oleh Allah ia kelak dengan api neraka”.

            Adapun ilmu hakikat atau ilmu batin memang tidak boleh disiar-siarkan kecuali kepada orang yang menginginkannya. Memberikan dan mengajarkan ilmu hakikat kepada yang bukan ahlinya ditakuti jadi fitnah disebabkan pemikiran otak sebahagian manusia ini tidak sampai mendalami ke lubuk dasarnya yaitu ilmu Allah Ta’ala. Ibarat kayu di hutan tidak sama tingginya, air di laut tidak sama dalamnya, dan tanah di bumi tidak sama ratanya, demikian halnya dengan manusia. Maka ahli Zikir (ahlus Shufi) inilah yang mendekati maqam wali-wali Allah yang berada di bawah martabat para nabi dan rasul. Inilah makna tujuan Allah memerintahkan supaya bertanya kepada ahli Zikir, karena ahli Zikir adalah orang-orang yang senantiasa hati dan pikirannya selalu ingat kepada Allah serta senantiasa mendapat bimbingan ilham dari Allah SWT.
            Oleh karena itu, agar kita dapat mengenal Allah, maka kita harus mempunyai pembimbing rohani atau mursyid. Tentang hal ini Abu Ali ats-Tsaqafi bertaka, “seandainya seseorang mempelajari semua jenis ilmu dan berguru kepada banyak ulama, maka dia tidak sampai ke tingkat para sufi kecuali dengan melakukan latihan-latihan spiritual bersama seorang syeikh yang memiliki akhlak luhur dan dapat memberinya nasehat-nasehat. Dan barang siapa yang tidak mengambil akhlaknya dari seorang syeikh yang melarangnya, serta memperlihatkan cacat-cacat dalam amalnya dan penyakit-penyakit dalam jiwanya, maka dia tidak boleh diikuti dalam memperbaiki muamalah”.
            Namun tidaklah ilmu pengenalah kepada Allah ini diperoleh dengan mudah begitu saja seperti mempelajari ilmu syari’at, karena ada satu syarat yang paling utama yang harus dilakukan terlebih dahulu yaitu mengambil ilmu ini dengan dibai’at oleh seorang mursyid yang kamil mukamil yang masuk dalam rantai silsilah para syeikh tarekat sufi yang bersambung-sambung sampai kepada Rasulullah SAW. Oleh karena itu jalan satu-satunya bagi kita untuk dapat mengenal Allah adalah dengan mempelajari ilmu tarekat di bawah bimbingan seorang mursyid.

Tanya : Mengapa hati memegang peran penting di dalam mengenal Allah?
Jawab : Bila kita sebut nama hati, maka hati yang dimaksud di sini bukanlah hati yang merah tua seperti hati ayam yang ada di sebelah kiri yang dekat jantung kita itu. Tetapi hati ini adalah alam ghaib yang tak dapat dilihat oleh mata dan alat panca indra karena ia termasuk alam ghaib (bersifat rohani). Tiap-tiap diri manusia memiliki hati sanubari, baik manusia awam maupun manusia wali, begituja para nabi dan rasul. Pada hati sanubari ini terdapat sifat-sifat jahat (penyakit hati), seperti : hasad, dengki, loba, tamak, rakus, pemarah, bengis, takbur, ria, ujub, sombong, dan lain-lain. Tetapi bilamana ia bersungguh-sungguh di dalam tarekatnya di bawah bimbingan mursyidnya, maka lambat laun hati yang kotor dan berpenyakit tadi akan bertukar bentuknya dari rupa yang hitam gelap pekat menjadi bersih putih dengan mengikuti kegiatan suluk atau khalwat secara kontinyu. Manakala hati yang hitam tadi telah berubah menjadi putih bersih, barulah ia memberikan sinar. Hati yang putih bersih bersinar itulah yang dinamakan hati Rohani (Qalbu) atau disebut juga dengan diri yang batin.
            Seumpama kita bercermin di depan kaca, maka kita tidak akan dapat melihat apa yang ada dibalik cermin selain muka kita, karena terhalang oleh cat merah yang melekat disebaliknya. Tetapi bila cat merah itu kita kikis habis, maka akan tampaklah di sebaliknya bermacam-macam dan berlapis-lapis cermin hingga sampai menembus ke alam Nur, alam Jabarut, alam Lahut, hingga alam Hadrat Hak Allah Ta’ala.
            Itulah sebabnya bila kita hanya baru sebatas mengenal hati sanubari saja, maka yang kita lihat hanya diri kita saja, sebab ditahan oleh cat merah tadi, yaitu sifat-sifat jahat seperti: takabbur, ria, ujub, dengki, hasad, pemarah, loba, tamak, rakus, cinta dunia, dan berbagai penyakit hati lainnya. Tetapi bila mana cat merah itu telah terkikis habis, barulah ia akan menyaksikan alam yang lebih tinggi dan mengetahuilah ia segala rahasia termasuk dirinya dan hakikatnya dan juga alam seluruhnya dan akhirnya mengenallah ia akan Tuhannya. Itulah sebabnya para wali-wali Allah itu lahir dari para sufi yaitu orang-orang yang telah berhasil membersihkan hatinya dengan bantuan mursyidnya pada zahir sedang pada hakikatnya dengan qudrat dan iradat Allah Ta’ala. Di sinilah terletak wajibnya mengenal diri untuk jalan mengenal Allah.

Selasa, 28 Juni 2016

"MUHASABAH" >> BELAJAR DARI KEHIDUPAN

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿١٨﴾
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. "

(Q.S.59:18)
Syaikh Abdur Rahman As Sa'diy mengatakan, '' Ayat ini merupakan dalil pokok yang menggugah seorang hamba untuk melakukan introspeksi terhadap dirinya. Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi seorang hamba untuk besikap objektif terhadap dirinya. Jika dia melihat dirinya salah hendaklah dia menanggulanginya dengan meninggalkan kesalahan, bertobat dan berpaling dari hal yang menyebabkan dia melakukan kesalahan itu. Jika dia melalaikan hal yang diperintahkan Allah maka dengan sendirinya dia berusaha dengan segenap kemampuanya dengan meminta tolong kepada Allah agar dia mampu meluruskan, menyempurnakan dan merapikanya. Selanjutnya dia harus menimbang antara karunia yang telah diberikan oleh Allah kepadanya dan kelalaian yang telah dilakukanya terhadap hak Allah, maka sudah dapat dipastikan perasaan ini akan menumbuhkan rasa malu dalam dirinya.''

Kata Muhasabah memiliki arti bila engkau menghitung sesuatu. Al Mawardi mendefinisikan muhasabah dengan, '' bila seseorang pada malam harinya membuka kembali lembaran perbuatan yang telah dilakukanya siang hari. Jika ternyata perbuatan itu terpuji , ia melanjutka pada hari berikutnya dan mengiringinya dengan perbuatan yang serupa. Sebaliknya jika ternyata perbuatan itu tercela, maka dia membersihkannya jika mampu dan jika tidak, maka mengiringinya dengan kebaikan untuk menghapusnya, lalu menghentikan perbuatan yang semisal pada masa yang akan datang.''

Imam Ibnu Qayyim mengatakan bahwa muhasabah ada dua macam,yaitu :

1. Muhasabah sebelum berbuat
Hal ini dilakukan sebelum melakuakan suatu perbuatan dengan meluruskan niat , pikiran, kehendak dan tekad yang ada di dalam jiwa. Ada beberapa pertanyaan yang bisa ditanyakan terhadap diri kita sebelum melakukan sesuatu :
A. Apakah pebuatan yang akan kita lakukan dapat kita kuasai atau tidak?
B. Apakah melakukanya lebih baik daripada meninggalkanya?
C. Apakah kita melakukanya ikhlas karena Allah atau tidak?
D. Apa sarana yang dapat membantu untuk merealisasikanya.

2. Muhasabah setelah beramal
Ibnu Qayim membagi menjadi 3 lagi:
A. Muhasabah terhadap hak-hak Allah.
B. Muhasabah terhadap perbuatan yang telah ditinggalkan karena lbih baik daripada mengerjakanya.
C. Muhasabah terhadap hal yang mubah, apakah dilakukan karena Allah atau hanya sebagai kebiasaan harian saja.

Ibnu Qayyim juga memberikan tips darimana kita mulai muhasabah, beliau berkata,'' Hendaklah seseorang memulai dengan amalan fardhu, jika disana terdapat kekurangan maka lengkapilah. Kemudian beralih kepada hal-hal yang dilarang, jika dia melakukan kesalahan ini maka segeralah betobat, memohon ampun dan mngerjakan amal-amal kebaikan untuk menghapusnya. Kemudian mmuhasabah kelalaian yang dilakukan terhadap tujuan yang melatarbelakangi pencipttaan dirinya. Jika terdapat kelalaian maka hendaklah menanggulangi dengan banyak berdzikir kepada Allah. Kemudian menghisab apa-apa yang telah dilakukan anggota tubuhnya, apakah untuk ketaatan kepada Allah atau kemaksiyatan.

Di anjurkan pula bagi sorang hamba pada pemulaan harinya untuk berpesan kepada dirinya untuk mlakukan kebaikan. Selanjutnya dipenghujung siang harinya dianjurkab menentukan suatu saat untuk mengevaluasi semua gerak dan sepak terjang yang telah dilakukan sejak permulaan siang hari. 

Muhasabah diumpamakn oleh ulama adalah perhitungan yang dilakukan oleh teman seperseroan dalam usaha yang sangat kikir terhadap teman usahanya. Hal ini menggambarkan bahwa manusia harus teliti dalam mengaudit dirinya sendiri, memeriksa berbagai perkara dengan sangat ketat.

Para salafushalih juga kadang menghukum dirinya jika melakukan kealpaan. Mereka menghukum dirinya  dengan cara memaksakan kepadanya untuk mengerjakan hal-hal yang diwajibkan atau hal-hal yang disunahkan untuk mengganti perbuatan haram yang dilakukanya.

Khalifah umar menghukum dirinya ketika dia telaat melakukan shalat asar berjamaah dengan cara menshadaqahkan sebidang tanah yang harganya mencapai 200000 dirham.
Ibnu Umar apabila terlewatkan dari sholat berjama'ah maka dia menghidupkan sepanjang malamnya dengan sholat sunnah. Dia pernah mengakhirkan waktu sholat maghrib karena suatu hal maka sebagai hukuman akan hal itu dia memerdekakan dua orang budak.
Ibnu Abu Rabi'ah pernah ketinggalan dua rakaat sunah fajar, maka sebagai hukumanya ia memerdekakan seorang budak.

Itulah muhasabah para salaf, pendahulu kaum muslimin. Mereka melakukanya setiap waktu dan mereka melakukan untuk kepentinganya di akhirat kelak. Bukan hanya ketika akhir tahun dan hanya untuk kehidupan dunia yang hina. Maka jika kita bandingkan diri kita dengan para salaffusshalih maka sungguh sangat jauh keadaan kita. 

Semoga Allah memberikan karunia kepada kami dan jagalah kami dari siksa Api Neraka. Amien.

Wallahu 'alam bi shawab
.

Selasa, 26 Januari 2016

"ISTIQOMAH DALAM TAFAKUR, TADABUR DAN MUHASABAH"

Hidup ini diliputi oleh masa, di belakang adalah masa-masa yang telah berlalu di tengah adalah masa yang sedang berlangsung di depan adalah masa yang akan datang. Apa kewajiban seorang muslim terhadap masa-masa itu ? kewajibannya adalah menjadikan masa-masa itu diisi dengan amal-amal saleh. (1). demi masa. (2). Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, (3). kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.

Lantas, sudahkah kita mengisi masa-masa kita dengan kesalehan ?  Beramal saleh adalah jihadul akbar, musuhnya yaitu hawa nafsu. Beramal saleh merupakan perjuangan panjang yaitu seumur hidupnya setiap muslim. Dalam masa-masa perjuangan itu tidaklah selalu mulus, kebaikan tidak selalu menag begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu alat ukur atau sebagai barometer  yang digunakan untuk mengevaluasi semua masa-masa kita islam telah menyiapkannya yaitu dengan Tafakur, Tadabur Dan Muhasabah.

Pertama : Tafakur berarti berpikir, ini sesuai dengan hadis Rasulullah saw. pernah bersabda, “Tafakkuruu fii khalqiLlahi wa laa tafakkaruu fiiLlahi, berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah, dan janganlah kamu berpikir tentang Dzat Allah.” Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas ini menurut Syaikh Nashiruddin Al-Bani dalam kitab Shahihul Jami’ish Shaghir dan Silsilahtu Ahadits Ash-Shahihah berderajat hasan.  Disebutkan di dalam hadits, bahwa tafakur sesaat adalah lebih baik daripada ibadah satu tahun.

Kedua : Tadabur secara bahasa berarti mengurus dan merenungkan kesudahan urusan itu. Secara Istilah berarti : Berpikir dengan menggunakan seluruh kemampuan akal dan dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang logis untuk mencapai pengertian yang baru. Kata tdabbaru dalam Al-Qur’an lebih mengarah pada mengangan-angan makna Al-Qur’an.

Ketiga : Muhasabah berasal dari akar kata hasiba yahsabu hisab, artinya secara bahasa melakukan perhitungan. Secara istilah muhasabah adalah sebuah upaya evaluasi diri terhadap kebaikan dan keburukan dalam semua aspeknya.

Kalau kita jajar arti dari ketiga-tiganya adalah pertama tafakur itu berpikir, tadabur itu merenungkan, muhasabah itu memperhitungkan. Jika kita mengamati secara jeli ketiga-tiganya mengandung muatan masa, berpikir bisa saja yang dipikirkan tentang masa lalu sekarang atau yang akan datang, merenungkan, dan memperhitungkan  adalah terhadap hal-hal yang telah berlalu.

Ketiga-tiganya mengandung maksud untuk menciptakan pemahaman-pemahaman yang benar yang akan melahirkan amal-amal saleh dan meninggalkan sejauh mungkin kebatilan. Jika ketiga-tiganya itu disinggung dalam Al-Qur’an maka bagi kita umat islam sudah seharusnya untuk menggunakan ketiga prinsip itu, yaitu tafakur, tadabur dan muhasabah secara berkesinambungan dan terus menerus (istiqomah).

Ketiga hal ini adalah penangkal kelalaian yang kadang muncul pada diri manusia, ketiga hal ini adalah sebagai kontrol amal keseharian kita, apakah itu sudah sesuai dengan maksud Islam yang sebenarnya atau belum, baik atau buruk, meningkat, tidak berubah atau menurun.

Berjalannya ketiga hal ini mesti disertai dan diiringi dengan ilmu, karena ilmu adalah cahaya. Kita berusaha bertafakur, bertadabur dan bermuhasabah tetapi di situ tidak ada cahaya maka ketiga usaha kita tidak akan membuahkan hasil secara baik. Ketiga hal ini dilakukan supaya seorang hamba itu tidak pernah akan merugi untuk selamanya atau tidak akan terjatuh dalam kesesatan yang terus menerus.

Maka setelah dipahami oleh seseorang terkait tentang tiga hal tersebut diatas maka akan dikatakan “beruntunglah orang yang hari ini baik dari hari yang kemarin, terperdayalah orang yang hari ini sama dengan yang kemarin, dan celakalah orang yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin.”


Wahai saudara seiman yang paling jauh adalah bukanlah bintang, matahari ataupun rembulan, tetapi yang jauh adalah masa yang telah berlalu dan tak akan kembali lagi. Kemarin yang telah luput dari kita akan menjadi secuil kenangan, dan juga menjadi penyesalan, yang ada adalah hari ini dan akan datang, gunakan hari ini sebaik-baik mungkin karena esok belum tentu menjadi milik kita, sedangkan yang kemarin telah pergi untuk selamanya, berfikirlah angan-angankanlah dan berintrospeksilah pada hari-harimu, kita semua.
 

 
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ada pertanyaan dari seorang sahabat +Ahmad firza hafidz xena tentang Artikel di atas, isi pertanyaan yang ditulsinya seperti berikut ini:
bismillah... salamualaikum.. sy tertarik membaca artikel ini, hanya ada beberapa pertanyaan yang muncul di kepala sy? mungkin mas +Syamsun Anwar bisa memberikan uraian  dari ke tiga barometer yang disebutkan sebagai sarana untuk mengevaluasi massa (waktu).. kongkrit aktifitas seperti apa yang harus kita lakukan untuk meng tafakur waktu, mentadabur al quran, dan bermuhasabah terhadap waktu,... di barometer tafakur disebutkan "berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah, dan janganlah kamu berpikir tentang Dzat Allah".. mungkun mas +Syamsun Anwar bisa memberikan uraian tentang hadist ini,.. kemudian kedua : tadabur ada kalimat mengangan angan kan al-quran, bentuk angan2 seperti apa yang dimaksud? dan selanjutnya bagian ketiga tadabur : Berpikir dengan menggunakan seluruh kemampuan akal dan dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang logis untuk mencapai pengertian yang baru.. apa sesungguhnya maksud kalimat ini? mohon bantuan ilmu untuk memahami nya mas... jazakumullahu khairan kathira.. salamualaikum warahmatullah..
Jawab :
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Sahabatku yang dirahmati Allah, pertanyaan yang menarik untuk diulas, saya menuliskan pembahasan 3 hal kemuliaan dalam agama tentang tafakur, tadabur dan muhasabah ini sesederhana mungkin dengan maksud agar mudah dipahami, namun di sisi lain bagi sebagian sahabat mungkin butuh keterangan yang lebih jelas. Oleh krama itu berikut adalah penjelasan sesuai dengan pertanyaan sahabat kita:

Pertama yang anda tanyakan, konkret aktivitas seperti apa yang bisa kita lakukan untuk mengamalkan ketiga hal tersebut ? 
Sebagaimana aktivitas muslim pada umumnya seperti beri’tikaf di masjid, ketika qiyamul lail, atau  kapan pun saja, ketika dalam kesendirian hati-nya. Pada saat itu ia bertafakur tentang keagungan ciptaan Allah berupa malam, atau sesuai yang anda dapati ketika itu yang semua adalah ciptaan Allah. Manfaatnya di masa masa yang akan datang kita akan lebih mengerti keagungan Allah menciptakan malam oleh karena akan dipergunakan sebaik-baiknya untuk ibadah. Selain bertafakur juga bertadabur yaitu dalam hatinya berkata ”Seorang hamba di malam hari memiliki waktu untuk shalat tahajud sesuai perintah Allah dalam Al-Quran”. Dengannya seorang hamba akan memiliki kesadaran penuh bahwa di dalam malam ada hak untuk beribadah sholat malam (tahajud) Juga bermuhasabah “sudahkah diri ini termasuk hamba yang bersyukur sedangkan Allah perintahkan bersyukur dalam Al-Qur’an.” Dengan bermuhasabah amal ibadah seseorang intensitasnya akan bertambah, dan grafiknya perlahan-lahan akan naik.

Untuk pertanyaan kedua saya sengaja mengambil sebuah hadis dengan maksud mengambil makna secara bahasa berdasarkan teks hadis yaitu berpikir, "berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah, dan janganlah kamu berpikir tentang Dzat Allah"  untuk penjelasan hadis ini bahwa kita sebagai makhluk berpikir makhluk yang dilengkapi karunia pikiran diperintahkan untuk berpikir, namun bukan berpikir yang bebas tanpa batas, ranah berpikir manusia dibatasi dalam agama Islam ini, yaitu kita diberi ranah berpikir pada zona makhluk, dan dilarang berpikir pada zona zat ketuhanan. Kenapa rasul mengajarkan demikian ? pertama ; akal kita ini untuk memikirkan pada area makhluk ini saja tidak akan pernah habis untuk dilakukan, di dalamnya terkandung ilmu-ilmu Allah yang Maha Luas.  “Katakanlah: Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)". Kedua ; Allah telah menetapkan area berpikir makhluk sedemikian rupa itu adalah untuk kemaslahatan dan keselamatan makhluk itu sendiri. Akal manusia tidak pernah akan sampai jika memikirkan dzatnya Allah, kita berfikir tentang Allah hanya sebatas pada sebutan-sebutan yang baik untuk-Nya (asma’ul husna) dan hanya pada mengenal sifat-sifat Allah yang wajib, mustahil maupun jaiz. Kalau manusia tetap memaksakan diri berpikir pada ranah yang dilarang, maka akan menyebabkan dua kerusakan: pertama, kerusakan secara fisik, akalnya bisa jadi rusak (jadi gila) kedua, kerusakan nun fisik yaitu kerusakan aqidah, berfikir tentang dzatnya Allah SWT, karena kapasitas akal tidak mampu, maka orang yang beriman akan berpaling menjadi ingkar (kafir). Naudzubillahi min dzalik.

Kemudian tentang masalah Tadabur: mengangan-angan Al-Qur’an, bentuk angan-angan apa yang dimaksud? Mengangan-angan Al-Quran (tadabburil qur’an) mempunyai dua pengertian, pertama mengangan-angan teks Al-Qur’an atau ayat-ayat  Al-Qur’an untuk diambil pelajaran. Kedua mengangan-angan diri yang merupakan subyek dari Risalah Nabi (Al-Qur’an), sudah sejalan dengan Al-Qur’an atau belum.

Selanjutnya penjelasan makna tadabur secara istilah : “Berpikir dengan menggunakan seluruh kemampuan akal dan dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang logis untuk mencapai pengertian yang baru.”  Ini maksudnya adalah ijtihad seseorang dalam memperoleh sebuah hikmah dari setiap kejadian sesuai dengan kondisi, situasi serta perkembangan zaman dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan utama. Obyek tadabur adalah Al-Qur’an atau bisa apa saja yang merupakan makhluk atau semua ciptaan-Nya. Itu semua karena kita diperintahkan untuk menemukan hikmah-hikmah dari setiap sesuatu, karena setiap hikmah itu ada kebaikan yang sangat banyak. Demikian penjelasan ini, kurang lebihnya mohon maaf, Wallahu a’lam bisshowab.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
 
  

Selasa, 10 Februari 2015

JANGAN LUPAKAN TAUHID


Masalah tauhid adalah masalah yang sangat penting. Ia merupakan asas tegaknya agama. Muatan utama ayat-ayat al-Qur'an dan misi pokok dakwah seluruh para nabi dan rasul. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (QS. An-Nahl: 36) Sebuah materi dakwah yang tidak akan lekang oleh zaman dan terus dibutuhkan oleh siapa saja; orang miskin maupun orang kaya, orang tua maupun anak muda, penduduk kota maupun penduduk desa, pejabat maupun rakyat jelata. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Luqman memberikan nasehat kepada anaknya: Wahai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13) Dari 'Itban bin Malik radhiyallahu'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah mengharamkan api neraka kepada orang yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas karena ingin mencari wajah Allah.” (HR. Bukhari dalam Kitab ash-Sholah [425] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [33]) Dalam suatu kesempatan ceramah, Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah -salah seorang murid Syaikh al-Albani rahimahullah- menasehatkan kepada kita untuk selalu memperhatikan masalah tauhid dan tidak menyepelekannya. Beliau berkata: Masalah paling besar yang diperhatikan ulama salaf apa? Bukan amalan anggota badan, akan tetapi [amalan] hati dan ikhlas dalam beramal... Oleh sebab itu, Yusuf bin al-Husain -salah seorang salaf- berkata, “Sesuatu yang paling sulit di dunia ini adalah ikhlas...Betapa sering aku berusaha menyingkirkan riya' dari dalam hatiku, tetapi seolah-olah ia muncul kembali di dalamnya dengan warna yang berbeda.” Demikianlah, ia mempermainkan hati, terkadang ia berpaling ke kanan atau ke kiri. Sehingga sulit menggapai keikhlasan. Sahl bin Abdullah berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih berat bagi jiwa (nafsu) daripada ikhlas. Sebab di dalamnya hawa nafsu tidak mendapat jatah sedikitpun.” Senang dipuji, suka disanjung... Hawa nafsu memang menyimpan banyak keinginan (ambisi)... Oleh sebab itu, Imam Ahmad rahimahullah berkata, "Syarat -memurnikan- niat itu sangatlah berat." Semoga Allah merahmati beliau. Sufyan ats-Tsauri berkata, "Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih susah daripada niatku... Karena ia sering berbolak-balik." Oleh sebab itu semestinya bagi saudara-saudara kami, saya menasehati diri saya sendiri dan juga mereka untuk terus melazimi tauhid, bersemangat di dalamnya, dan terus-menerus berdoa kepada Allah agar mereka tetap istiqomah di atasnya. Hendaknya mereka memohon kepada Allah jalla wa 'ala supaya Allah membantu mereka untuk bisa teguh di atas tauhid, dan memberikan taufik kepada mereka untuk itu... Masalah ini bukan masalah sepele, saudara-saudara sekalian... Beliau juga menjelaskan: Manusia, bisa jadi mereka adalah orang yang tidak mengerti tauhid -secara global maupun terperinci- maka orang semacam ini jelas wajib untuk mempelajarinya... Atau bisa jadi mereka adalah orang yang mengerti tauhid secara global tapi tidak secara rinci... maka orang semacam ini wajib belajar rinciannya... Atau bisa jadi mereka adalah orang yang telah mengetahui tauhid secara global dan terperinci... maka mereka pun tetap butuh untuk senantiasa diingatkan tentang tauhid...serta terus mempelajarinya dan tidak berhenti darinya... Jangan berdalih dengan perkataan, "Saya 'kan sudah menyelesaikan Kitab Tauhid." atau mengatakan, "Saya sudah menuntaskan pembahasan masalah tauhid." atau berkata, "Isu seputar tauhid sudah habis. Sehingga kita pindah saja kepada isu yang lain." Tidak demikian... Sebab, tauhid tidaklah ditinggalkan menuju selainnya...tetapi tauhid harus senantiasa dibawa beserta yang lainnya. Kebutuhan kita terhadap tauhid lebih besar daripada kebutuhan kita terhadap air dan udara... Beliau juga menegaskan: Jadi, tauhid adalah misi dakwah seluruh rasul dan nabi. Ini adalah manhaj dakwah yang tidak berubah.. Dan kita pun tidak boleh merubahnya, dengan alasan apapun. Semisal, kita katakan, "Demi menyesuaikan dengan tuntutan zaman, dsb." yang dengan alasan semacam itu kita merubah titik tolak dakwah dan mengganti manhaj dakwah. Atau mengatakan bahwa semestinya sekarang dakwah kita mulai dengan masalah akhlak, atau sebaiknya kita mulai dengan masalah ini atau itu... Tidaklah demikian. Tidaklah kita memulai dakwah kecuali dengan apa yang dimulai oleh para rasul... Inilah dakwah para rasul dan para nabi yang semestinya kita -semua- menunaikan tugas [dakwah] ini dengan baik; yang seharusnya kita tetap hidup di atasnya dan mati di atasnya pula. 

Wallohua'lam bishshowab...

Baarakallahu fiikum.


Jumat, 24 Oktober 2014

MENGAPA KITA HARUS BELAJAR AQIDAH....?




Kaum muslimin yang dirahmati Allah, aqidah merupakan ilmu terpenting yang harus diketahui oleh setiap muslim. Mengapa demikian? Karena aqidah merupakan pondasi tegaknya amal ibadah dan syarat diterimanya amalan.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang menghendaki perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan nabi-nabi sebelummu: Jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu, dan kamu pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

Ibadah kepada Allah tidak akan diterima jika tidak dilandasi dengan tauhid. Oleh sebab itu Allah berfirman mengenai amal-amal orang musyrik dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan Kami tampakkan segala amal yang dahulu mereka kerjakan, lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

Oleh karenanya, wajib bagi setiap muslim untuk memahami tauhid berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah sebagaimana yang telah dipahami oleh para Sahabat radhiyallahu'anhum. Memahami ilmu aqidah adalah kunci keselamatan seorang hamba di dunia dan di akhirat. Inilah kunci utama untuk membebaskan diri dari kerugian.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-'Ashr: 1-3)

Keimanan yang benar adalah keimanan yang tidak dicampuri dengan syirik dan kekafiran. Itulah sebab pokok untuk meraih keamanan dan petunjuk dari Allah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (QS. Al-An'am: 82)

Syirik adalah sebuah kezaliman, bahkan ia merupakan kezaliman yang paling besar. Allah ta'ala mengisahkan nasihat Luqman kepada putranya (yang artinya), “Wahai anakku! Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)

Karena hanya Allah yang menciptakan dan memelihara kita, maka sudah semestinya kita hanya beribadah kepada-Nya dan berlepas diri dari segala sesembahan selain-Nya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia! Sembahlah Rabb kalian; yaitu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21)

Aqidah inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah fiqih akbar. Imam Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi mengatakan, bahwa kebutuhan hamba kepada ilmu ini adalah di atas kebutuhan mereka terhadap perkara-perkara yang lain (lihat Syarh ath-Thahawiyah, hal. 69)

Oleh sebab itu pula, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala mengutus Mu'adz bin Jabal radhiyallahu'anhu untuk berdakwah di negeri Yaman, maka beliau berpesan, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafal Bukhari)

Hal ini tentu saja menunjukkan betapa pentingnya ilmu tauhid dan betapa besar kebutuhan umat manusia terhadapnya. Sehingga, tidaklah mengherankan jika seluruh dakwah para rasul tegak di atas misi yang sama. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul -yang berseru- : Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut itu.” (QS. An-Nahl: 36)

Dari sinilah, kita dapat menyimpulkan bahwa berbagai seruan yang mengatasnamakan kebangkitan Islam atau melanjutkan kembali kehidupan Islam akan tetapi tidak dibarengi dengan tarbiyah tauhid dengan benar adalah omong kosong belaka! Bukankah tidak jarang kita dengar sayup-sayup ucapan mereka, “Dakwah tauhid memecah-belah umat” [?!] “Dakwah tauhid mencerai-beraikan barisan” [?!] “Dakwah tauhid sudah ketinggalan jaman” [?!] “Dakwah tauhid membuat orang lari” [?!] “Dakwah tauhid tidak digemari orang” [?!]

Maha suci Allah dari apa yang mereka ucapkan! Akankah kita katakan dakwah para rasul ini dakwah yang memecah-belah umat, mencerai-beraikan barisan mereka, sudah ketinggalan jaman, membuat orang lari, dan -lebih parah lagi jika dikatakan bahwa dakwah tauhid mesti disingkirkan gara-gara- tidak digemari orang?! Allahul musta'an.

Bagaimana mungkin kita bisa sepakat membuat orang untuk bersama-sama memerangi riba dan zina sementara kita lalai dari mengajak mereka untuk memberantas syirik dan pemujaan berhala?! Ataukah kita telah menganggap berhala masa kini sudah tiada? Karena manusia sudah berpindah ke masa kecanggihan teknologi sehingga jauh dari klenik dan ritual-ritual kemusyrikan? Benarkah demikian?!

Bagaimana mungkin kita bersemangat tatkala menghasung umat untuk mencabut riba sampai akar-akarnya namun di saat yang sama pemurnian aqidah seolah menjadi agenda dan tema pembahasan yang terlupa?! Padahal, Allah telah berfirman tentang besarnya dosa yang satu ini dalam ayat-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan Dia akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa': 48)

Dan lebih ajaib lagi jika kita mengangankan tegaknya sebuah daulah Islam di atas negeri yang syirik dan bid'ah merajalela bak jamur di musim hujan bahkan seolah telah mendarah daging dalam hidup dan kehidupan mereka?!

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata: Sungguh membuatku kagum ucapan salah seorang penggerak ishlah/perbaikan pada masa kini. Beliau mengatakan: “Tegakkanlah daulah/pemerintahan Islam di dalam hati kalian, niscaya ia akan tegak di atas bumi kalian.” (lihat Ma'alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, hal. 24)

Sungguh benar firman Allah ta'ala (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai mereka mau merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra'd: 11). Kepada Allah semata kita memohon taufik dan bimbingan.

Nasehat Imam Syafi'i

ar-Rabi' mengatakan: Aku mendengar Syafi'i mengatakan, “Apabila kalian mendapati di dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ikutilah hal itu dan tinggalkan pendapatku.” (lihat Tarajim al-A'immah al-Kibar, hal. 55)

ar-Rabi' berkata: Aku mendengar beliau -Imam Syafi'i- mengatakan, “Langit manakah yang akan menaungiku. Bumi manakah yang akan menjadi tempat berpijak bagiku. Jika aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian aku tidak berpendapat sebagaimana kandungan hadits tersebut.” (lihat Tarajim al-A'immah al-Kibar, hal. 56)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidaklah beriman, hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus perkara atas segala perselisihan yang terjadi diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati kesempitan di dalam hati mereka, dan mereka pasrah kepadanya secara sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa': 65)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang beriman, lelaki atau perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

al-Buwaithi berkata: Aku mendengar Syafi'i mengatakan, “Hendaklah kalian berpegang kepada para ulama hadits, sesungguhnya mereka adalah manusia yang paling banyak kebenarannya.” (lihat Tarajim al-A'immah al-Kibar, hal. 63)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Akan senantiasa ada sekelompok orang diantara umatku ini yang menang -di atas kebenaran- tidaklah membahayakan mereka orang yang menelantarkan mereka hingga tegak hari kiamat.” (Muttafaq 'alaih)

Para imam; Imam Abdullah bin al-Mubarak (wafat 181 H), Yazid bin Harun (wafat 206 H), Ali bin al-Madini (wafat 234 H), Ahmad bin Hanbal (wafat 241), dan Imam Bukhari (wafat 256 H) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan 'kelompok' di dalam hadits tersebut adalah as-habul hadits (pengikut hadits). Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Seandainya mereka bukan as-habul hadits maka aku tidak tahu lagi siapakah mereka itu?” (lihat Nasha'ih Manhajiyah Li Thalib 'Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 18)

Wallahu a'lam. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil 'alamin.

Pengaruh Iman Terhadap Sifat Rahmat Allah Di Dalam Perilaku Seorang Hamba

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, mengimani sifat-sifat Allah adalah kewajiban kita sebagai seorang muslim. Salah satu sifat Allah yang wajib untuk kita yakini adalah sifat rahmat/kasih sayang. Allah ta'ala memiliki sifat rahmat. Sifat ini telah ditetapkan di dalam al-Kitab maupun as-Sunnah.

Misalnya, Allah ta'ala berfirman dalam surat al-Fatihah (yang artinya), “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Dan adalah Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa': 96)

Di dalam as-Sunnah, misalnya dalam hadits yang diriwayatkan oleh 'Umar bin al-Khaththab radhiyallahu'anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika ada serombongan tawanan perang yang dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Di tengah-tengah mereka ada seorang ibu yang kebingungan mencari bayinya. Setiap kali menemukan seorang bayi maka dia pun mendekap dan menyusuinya. Maka, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Apakah menurut kalian perempuan ini tega untuk melemparkan bayinya ke dalam kobaran api?”. Para sahabat menjawab, “Tidak, demi Allah! Padahal dia sanggup untuk tidak melemparkannya.” Lalu Nabi bersabda, “Sungguh Allah lebih penyayang daripada ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, perlu dicermati bahwa rahmat Allah itu terbagi menjadi dua; rahmat yang umum dan rahmat yang khusus. Rahmat yang umum diperoleh siapa pun, orang beriman maupun orang kafir, orang yang taat maupun yang maksiat. Yang dimaksud adalah rahmat di dunia semata. Sebagaimana firman Allah yang menceritakan ucapan para malaikat (yang artinya), “Wahai Rabb kami, maha luas rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu.” (QS. Ghafir: 7)

Adapun rahmat yang khusus adalah yang diperuntukkan bagi orang yang beriman dan bertakwa. Hal ini diperoleh tidak hanya di dunia, bahkan juga di akhirat. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan rahmat-Ku maha luas mecakup segala sesuatu. Akan tetapi akan Aku tetapkan hanya untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A'raaf: 156)

Rahmat Allah yang bersifat umum dapat kita saksikan bukti-buktinya berupa segala macam nikmat dunia yang dirasakan oleh manusia. Air, udara, cahaya, matahari, makanan dan minuman, pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Semua orang bisa mendapatkannya tanpa membeda-bedakan agama dan keyakinan mereka.

Adapun rahmat Allah yang bersifat khusus dapat kita lihat di dunia dengan nikmat hidayah yang Allah berikan kepada umat manusia dan diyakini oleh kaum muslimin yaitu dengan turunnya al-Qur'an, diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Inilah rahmat yang khusus dan menjamin kebahagiaan yang sesungguhnya.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut. Maka diantara mereka ada yang Allah berikan hidayah dan ada yang tetap padanya kesesatan.” (QS. An-Nahl: 36)

Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Alif lam lim. Inilah Kitab (al-Qur'an). Tidak ada keraguan sama sekali di dalamnya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa; yaitu orang-orang yang mengimani yang gaib dan mendirikan sholat, serta memberikan infak dari sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan orang-orang yang mengimani apa yang diturunkan kepadamu dan apa-apa yang diturunkan sebelummu, dan mereka meyakini hari akhirat. Mereka itulah yang berada di atas petunjuk dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 1-5)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan binasa.” (QS. Thaha: 123)

Keimanan terhadap sifat rahmat Allah ini memiliki banyak dampak positif dan pengaruh kuat terhadap jiwa dan perilaku seorang hamba. Diantaranya adalah:

Pertama: Menumbuhkan kecintaan kepada Allah. Dimana Allah telah menganugerahkan berbagai macam nikmat kepada hamba-hamba-Nya. Termasuk di dalam cakupan nikmat ini adalah apa yang disyari'atkan oleh-Nya. Misalnya, Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Hanya saja Allah mengharamkan kepada kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih untuk selain Allah. Barangsiapa yang terpaksa, tanpa melampaui batas dan tidak berlebihan [sehingga memakannya] maka tidak ada dosa atasnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)

Maka, apabila seseorang tidak mendapatkan makanan pada keadaan dia sangat lapar dan hampir mati kecuali bangkai, maka ketika itu diperbolehkan baginya untuk memakan bangkai. Tidak ada dosa atasnya. Maka keringanan ini adalah bukti kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu hal ini akan menumbuhkan rasa cinta pada diri seorang hamba kepada Rabbnya.

Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian. Sesungguhnya Allah adalah sangat penyayang kepada kalian.” (QS. An-Nisaa': 29)

Oleh sebab itu segala perkara yang menjerumuskan manusia kepada kebinasaan dilarang oleh Allah. Perbuatan bunuh diri dengan segala macam bentuk dan sebabnya. Hal ini menunjukkan besarnya kasih sayang Allah kepada seorang hamba. Dan tentu saja hal itu akan membuahkan rasa cinta di dalam hati seorang hamba kepada Rabbnya.

Kedua: Iman kepada rahmat Allah akan membukakan pintu roja'/harapan terhadap ampunan dan kasih sayang-Nya. Sehingga seorang hamba akan terbebas dari sikap putus asa terhadap rahmat Allah. Dan dengan keyakinan semacam ini seorang hamba akan mau bertaubat sebesar apapun dosa yang pernah dilakukannya.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang bertaubat setelah kezaliman yang dilakukannya dan melakukan perbaikan, maka Allah akan menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ma'idah: 39)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap dirinya; Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala bentuk dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

Ketiga: Iman kepada rahmat Allah akan membuahkan pengaruh pada diri seorang hamba untuk menempuh sebab-sebab yang mengantarkan dirinya untuk menggapai rahmat-Nya yang sesungguhnya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat dengan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Al-A'raaf: 56)

Sementara makna dari berbuat ihsan tidak hanya terbatas berbuat baik kepada makhluk, bahkan termasuk makna ihsan yang tertinggi adalah ihsan dalam beribadah kepada Allah. Sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Jibril yang sangat masyhur, “[Ihsan] adalah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Dan apabila kamu tidak sanggup beribadah seolah melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia Melihat dirimu.” (HR. Muslim dari 'Umar bin Khaththab radhiyallahu'anhu)

Maka siapa saja yang ingin menggapai rahmat Allah hendaklah dia berbuat ihsan dalam beribadah, yaitu dengan mentauhidkan-Nya dan menjauhi syirik, ikhlas dan tidak riya', memurnikan ibadah untuk Allah semata, bukan untuk mencari kesenangan dunia atau popularitas di kalangan manusia. Selain itu, hendaklah dia juga bergaul dengan manusia dengan akhlak yang utama. Inilah sebab untuk meraih rahmat dan ridha-Nya.

Dengan merenungkan manfaat dan pengaruh yang timbul dengan beriman terhadap sifat rahmat Allah inilah, kita bisa menyadari betapa dalam hikmah yang terkandung di dalam ayat ar-Rahmanir Rahim yang senantiasa kita baca di dalam sholat kita, yaitu yang tercantum dalam surat al-Fatihah; surat yang paling agung di dalam Kitab-Nya.

Sebab, dengan mengimani sifat rahmat Allah itulah seorang hamba akan mencintai Allah di atas kecintaannya kepada apa pun juga. Dengan mengimani sifat rahmat Allah pula seorang hamba akan terdorong untuk keluar dari kegelapan dosa menuju luasnya ampunan Allah dan rahmat-Nya. Karena keimanan kepada sifat rahmat Allah ini juga, seorang hamba akan berjuang untuk menggapai kedekatan dan kemuliaan di sisi-Nya.

Wallaahu ta'ala a'lam bish shawaab. Wa shallallaahu 'ala Nabiyyir rahmah, wa 'ala aalihi wa man tabi'ahum bi ihsanin ila yaumil qiyaamah. Walhamdulillaahilladzii laa ilaaha illa huwa, wahdahu laa syariika lah. Laa na'budu illa iyyah. Wa laa haula wa laa quwwata illa billaah.

Referensi: Atsar al-Iman bi Shifatillahi fi Sulukil 'Abdi cet. 1433 H karya Syaikh Ahmad bin Muhammad an-Najjar, hal. 13-20