Mari Belajar dan Terus Belajar, Membenahi Diri
65 hari 16 jam 10 menit 45 detik
Menuju Awal Puasa Ramadhan 2023

23 Maret 2023

Jumat, 24 Oktober 2014

MENGAPA KITA HARUS BELAJAR AQIDAH....?




Kaum muslimin yang dirahmati Allah, aqidah merupakan ilmu terpenting yang harus diketahui oleh setiap muslim. Mengapa demikian? Karena aqidah merupakan pondasi tegaknya amal ibadah dan syarat diterimanya amalan.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang menghendaki perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (QS. Al-Kahfi: 110)

Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Sungguh, telah diwahyukan kepadamu dan nabi-nabi sebelummu: Jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu, dan kamu pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

Ibadah kepada Allah tidak akan diterima jika tidak dilandasi dengan tauhid. Oleh sebab itu Allah berfirman mengenai amal-amal orang musyrik dalam firman-Nya (yang artinya), “Dan Kami tampakkan segala amal yang dahulu mereka kerjakan, lalu Kami jadikan ia bagaikan debu yang beterbangan.” (QS. Al-Furqan: 23)

Oleh karenanya, wajib bagi setiap muslim untuk memahami tauhid berdasarkan al-Qur'an dan as-Sunnah sebagaimana yang telah dipahami oleh para Sahabat radhiyallahu'anhum. Memahami ilmu aqidah adalah kunci keselamatan seorang hamba di dunia dan di akhirat. Inilah kunci utama untuk membebaskan diri dari kerugian.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-'Ashr: 1-3)

Keimanan yang benar adalah keimanan yang tidak dicampuri dengan syirik dan kekafiran. Itulah sebab pokok untuk meraih keamanan dan petunjuk dari Allah. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan, dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.” (QS. Al-An'am: 82)

Syirik adalah sebuah kezaliman, bahkan ia merupakan kezaliman yang paling besar. Allah ta'ala mengisahkan nasihat Luqman kepada putranya (yang artinya), “Wahai anakku! Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang sangat besar.” (QS. Luqman: 13)

Karena hanya Allah yang menciptakan dan memelihara kita, maka sudah semestinya kita hanya beribadah kepada-Nya dan berlepas diri dari segala sesembahan selain-Nya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Wahai umat manusia! Sembahlah Rabb kalian; yaitu yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 21)

Aqidah inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah fiqih akbar. Imam Ibnu Abil 'Izz al-Hanafi mengatakan, bahwa kebutuhan hamba kepada ilmu ini adalah di atas kebutuhan mereka terhadap perkara-perkara yang lain (lihat Syarh ath-Thahawiyah, hal. 69)

Oleh sebab itu pula, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala mengutus Mu'adz bin Jabal radhiyallahu'anhu untuk berdakwah di negeri Yaman, maka beliau berpesan, “Hendaklah yang pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim, lafal Bukhari)

Hal ini tentu saja menunjukkan betapa pentingnya ilmu tauhid dan betapa besar kebutuhan umat manusia terhadapnya. Sehingga, tidaklah mengherankan jika seluruh dakwah para rasul tegak di atas misi yang sama. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah Kami utus kepada setiap umat seorang rasul -yang berseru- : Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut itu.” (QS. An-Nahl: 36)

Dari sinilah, kita dapat menyimpulkan bahwa berbagai seruan yang mengatasnamakan kebangkitan Islam atau melanjutkan kembali kehidupan Islam akan tetapi tidak dibarengi dengan tarbiyah tauhid dengan benar adalah omong kosong belaka! Bukankah tidak jarang kita dengar sayup-sayup ucapan mereka, “Dakwah tauhid memecah-belah umat” [?!] “Dakwah tauhid mencerai-beraikan barisan” [?!] “Dakwah tauhid sudah ketinggalan jaman” [?!] “Dakwah tauhid membuat orang lari” [?!] “Dakwah tauhid tidak digemari orang” [?!]

Maha suci Allah dari apa yang mereka ucapkan! Akankah kita katakan dakwah para rasul ini dakwah yang memecah-belah umat, mencerai-beraikan barisan mereka, sudah ketinggalan jaman, membuat orang lari, dan -lebih parah lagi jika dikatakan bahwa dakwah tauhid mesti disingkirkan gara-gara- tidak digemari orang?! Allahul musta'an.

Bagaimana mungkin kita bisa sepakat membuat orang untuk bersama-sama memerangi riba dan zina sementara kita lalai dari mengajak mereka untuk memberantas syirik dan pemujaan berhala?! Ataukah kita telah menganggap berhala masa kini sudah tiada? Karena manusia sudah berpindah ke masa kecanggihan teknologi sehingga jauh dari klenik dan ritual-ritual kemusyrikan? Benarkah demikian?!

Bagaimana mungkin kita bersemangat tatkala menghasung umat untuk mencabut riba sampai akar-akarnya namun di saat yang sama pemurnian aqidah seolah menjadi agenda dan tema pembahasan yang terlupa?! Padahal, Allah telah berfirman tentang besarnya dosa yang satu ini dalam ayat-Nya (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan Dia akan mengampuni dosa lain yang berada di bawah tingkatan itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An-Nisaa': 48)

Dan lebih ajaib lagi jika kita mengangankan tegaknya sebuah daulah Islam di atas negeri yang syirik dan bid'ah merajalela bak jamur di musim hujan bahkan seolah telah mendarah daging dalam hidup dan kehidupan mereka?!

Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata: Sungguh membuatku kagum ucapan salah seorang penggerak ishlah/perbaikan pada masa kini. Beliau mengatakan: “Tegakkanlah daulah/pemerintahan Islam di dalam hati kalian, niscaya ia akan tegak di atas bumi kalian.” (lihat Ma'alim al-Manhaj as-Salafi fi at-Taghyir, hal. 24)

Sungguh benar firman Allah ta'ala (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sampai mereka mau merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra'd: 11). Kepada Allah semata kita memohon taufik dan bimbingan.

Nasehat Imam Syafi'i

ar-Rabi' mengatakan: Aku mendengar Syafi'i mengatakan, “Apabila kalian mendapati di dalam kitabku sesuatu yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ikutilah hal itu dan tinggalkan pendapatku.” (lihat Tarajim al-A'immah al-Kibar, hal. 55)

ar-Rabi' berkata: Aku mendengar beliau -Imam Syafi'i- mengatakan, “Langit manakah yang akan menaungiku. Bumi manakah yang akan menjadi tempat berpijak bagiku. Jika aku meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian aku tidak berpendapat sebagaimana kandungan hadits tersebut.” (lihat Tarajim al-A'immah al-Kibar, hal. 56)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Demi Rabbmu, sekali-kali mereka tidaklah beriman, hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim/pemutus perkara atas segala perselisihan yang terjadi diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati kesempitan di dalam hati mereka, dan mereka pasrah kepadanya secara sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa': 65)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang beriman, lelaki atau perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)

al-Buwaithi berkata: Aku mendengar Syafi'i mengatakan, “Hendaklah kalian berpegang kepada para ulama hadits, sesungguhnya mereka adalah manusia yang paling banyak kebenarannya.” (lihat Tarajim al-A'immah al-Kibar, hal. 63)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, “Akan senantiasa ada sekelompok orang diantara umatku ini yang menang -di atas kebenaran- tidaklah membahayakan mereka orang yang menelantarkan mereka hingga tegak hari kiamat.” (Muttafaq 'alaih)

Para imam; Imam Abdullah bin al-Mubarak (wafat 181 H), Yazid bin Harun (wafat 206 H), Ali bin al-Madini (wafat 234 H), Ahmad bin Hanbal (wafat 241), dan Imam Bukhari (wafat 256 H) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan 'kelompok' di dalam hadits tersebut adalah as-habul hadits (pengikut hadits). Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Seandainya mereka bukan as-habul hadits maka aku tidak tahu lagi siapakah mereka itu?” (lihat Nasha'ih Manhajiyah Li Thalib 'Ilmi as-Sunnah an-Nabawiyah, hal. 18)

Wallahu a'lam. Wa shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil 'alamin.

Pengaruh Iman Terhadap Sifat Rahmat Allah Di Dalam Perilaku Seorang Hamba

Kaum muslimin yang dirahmati Allah, mengimani sifat-sifat Allah adalah kewajiban kita sebagai seorang muslim. Salah satu sifat Allah yang wajib untuk kita yakini adalah sifat rahmat/kasih sayang. Allah ta'ala memiliki sifat rahmat. Sifat ini telah ditetapkan di dalam al-Kitab maupun as-Sunnah.

Misalnya, Allah ta'ala berfirman dalam surat al-Fatihah (yang artinya), “Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Dan adalah Allah itu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisaa': 96)

Di dalam as-Sunnah, misalnya dalam hadits yang diriwayatkan oleh 'Umar bin al-Khaththab radhiyallahu'anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika ada serombongan tawanan perang yang dihadapkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Di tengah-tengah mereka ada seorang ibu yang kebingungan mencari bayinya. Setiap kali menemukan seorang bayi maka dia pun mendekap dan menyusuinya. Maka, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada para sahabat, “Apakah menurut kalian perempuan ini tega untuk melemparkan bayinya ke dalam kobaran api?”. Para sahabat menjawab, “Tidak, demi Allah! Padahal dia sanggup untuk tidak melemparkannya.” Lalu Nabi bersabda, “Sungguh Allah lebih penyayang daripada ibu ini kepada anaknya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Namun, perlu dicermati bahwa rahmat Allah itu terbagi menjadi dua; rahmat yang umum dan rahmat yang khusus. Rahmat yang umum diperoleh siapa pun, orang beriman maupun orang kafir, orang yang taat maupun yang maksiat. Yang dimaksud adalah rahmat di dunia semata. Sebagaimana firman Allah yang menceritakan ucapan para malaikat (yang artinya), “Wahai Rabb kami, maha luas rahmat dan ilmu-Mu meliputi segala sesuatu.” (QS. Ghafir: 7)

Adapun rahmat yang khusus adalah yang diperuntukkan bagi orang yang beriman dan bertakwa. Hal ini diperoleh tidak hanya di dunia, bahkan juga di akhirat. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan rahmat-Ku maha luas mecakup segala sesuatu. Akan tetapi akan Aku tetapkan hanya untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Kami.” (QS. Al-A'raaf: 156)

Rahmat Allah yang bersifat umum dapat kita saksikan bukti-buktinya berupa segala macam nikmat dunia yang dirasakan oleh manusia. Air, udara, cahaya, matahari, makanan dan minuman, pakaian, tempat tinggal, dan lain sebagainya. Semua orang bisa mendapatkannya tanpa membeda-bedakan agama dan keyakinan mereka.

Adapun rahmat Allah yang bersifat khusus dapat kita lihat di dunia dengan nikmat hidayah yang Allah berikan kepada umat manusia dan diyakini oleh kaum muslimin yaitu dengan turunnya al-Qur'an, diutusnya para rasul dan diturunkannya kitab-kitab. Inilah rahmat yang khusus dan menjamin kebahagiaan yang sesungguhnya.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang mengajak: Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut. Maka diantara mereka ada yang Allah berikan hidayah dan ada yang tetap padanya kesesatan.” (QS. An-Nahl: 36)

Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Alif lam lim. Inilah Kitab (al-Qur'an). Tidak ada keraguan sama sekali di dalamnya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa; yaitu orang-orang yang mengimani yang gaib dan mendirikan sholat, serta memberikan infak dari sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan orang-orang yang mengimani apa yang diturunkan kepadamu dan apa-apa yang diturunkan sebelummu, dan mereka meyakini hari akhirat. Mereka itulah yang berada di atas petunjuk dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 1-5)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku maka dia tidak akan sesat dan tidak akan binasa.” (QS. Thaha: 123)

Keimanan terhadap sifat rahmat Allah ini memiliki banyak dampak positif dan pengaruh kuat terhadap jiwa dan perilaku seorang hamba. Diantaranya adalah:

Pertama: Menumbuhkan kecintaan kepada Allah. Dimana Allah telah menganugerahkan berbagai macam nikmat kepada hamba-hamba-Nya. Termasuk di dalam cakupan nikmat ini adalah apa yang disyari'atkan oleh-Nya. Misalnya, Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Hanya saja Allah mengharamkan kepada kalian bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang disembelih untuk selain Allah. Barangsiapa yang terpaksa, tanpa melampaui batas dan tidak berlebihan [sehingga memakannya] maka tidak ada dosa atasnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173)

Maka, apabila seseorang tidak mendapatkan makanan pada keadaan dia sangat lapar dan hampir mati kecuali bangkai, maka ketika itu diperbolehkan baginya untuk memakan bangkai. Tidak ada dosa atasnya. Maka keringanan ini adalah bukti kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Oleh sebab itu hal ini akan menumbuhkan rasa cinta pada diri seorang hamba kepada Rabbnya.

Allah ta'ala juga berfirman (yang artinya), “Dan janganlah kalian membunuh diri-diri kalian. Sesungguhnya Allah adalah sangat penyayang kepada kalian.” (QS. An-Nisaa': 29)

Oleh sebab itu segala perkara yang menjerumuskan manusia kepada kebinasaan dilarang oleh Allah. Perbuatan bunuh diri dengan segala macam bentuk dan sebabnya. Hal ini menunjukkan besarnya kasih sayang Allah kepada seorang hamba. Dan tentu saja hal itu akan membuahkan rasa cinta di dalam hati seorang hamba kepada Rabbnya.

Kedua: Iman kepada rahmat Allah akan membukakan pintu roja'/harapan terhadap ampunan dan kasih sayang-Nya. Sehingga seorang hamba akan terbebas dari sikap putus asa terhadap rahmat Allah. Dan dengan keyakinan semacam ini seorang hamba akan mau bertaubat sebesar apapun dosa yang pernah dilakukannya.

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang bertaubat setelah kezaliman yang dilakukannya dan melakukan perbaikan, maka Allah akan menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ma'idah: 39)

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap dirinya; Janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni segala bentuk dosa. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Az-Zumar: 53)

Ketiga: Iman kepada rahmat Allah akan membuahkan pengaruh pada diri seorang hamba untuk menempuh sebab-sebab yang mengantarkan dirinya untuk menggapai rahmat-Nya yang sesungguhnya. Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya rahmat Allah itu dekat dengan orang-orang yang berbuat ihsan.” (QS. Al-A'raaf: 56)

Sementara makna dari berbuat ihsan tidak hanya terbatas berbuat baik kepada makhluk, bahkan termasuk makna ihsan yang tertinggi adalah ihsan dalam beribadah kepada Allah. Sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Jibril yang sangat masyhur, “[Ihsan] adalah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah melihat-Nya. Dan apabila kamu tidak sanggup beribadah seolah melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia Melihat dirimu.” (HR. Muslim dari 'Umar bin Khaththab radhiyallahu'anhu)

Maka siapa saja yang ingin menggapai rahmat Allah hendaklah dia berbuat ihsan dalam beribadah, yaitu dengan mentauhidkan-Nya dan menjauhi syirik, ikhlas dan tidak riya', memurnikan ibadah untuk Allah semata, bukan untuk mencari kesenangan dunia atau popularitas di kalangan manusia. Selain itu, hendaklah dia juga bergaul dengan manusia dengan akhlak yang utama. Inilah sebab untuk meraih rahmat dan ridha-Nya.

Dengan merenungkan manfaat dan pengaruh yang timbul dengan beriman terhadap sifat rahmat Allah inilah, kita bisa menyadari betapa dalam hikmah yang terkandung di dalam ayat ar-Rahmanir Rahim yang senantiasa kita baca di dalam sholat kita, yaitu yang tercantum dalam surat al-Fatihah; surat yang paling agung di dalam Kitab-Nya.

Sebab, dengan mengimani sifat rahmat Allah itulah seorang hamba akan mencintai Allah di atas kecintaannya kepada apa pun juga. Dengan mengimani sifat rahmat Allah pula seorang hamba akan terdorong untuk keluar dari kegelapan dosa menuju luasnya ampunan Allah dan rahmat-Nya. Karena keimanan kepada sifat rahmat Allah ini juga, seorang hamba akan berjuang untuk menggapai kedekatan dan kemuliaan di sisi-Nya.

Wallaahu ta'ala a'lam bish shawaab. Wa shallallaahu 'ala Nabiyyir rahmah, wa 'ala aalihi wa man tabi'ahum bi ihsanin ila yaumil qiyaamah. Walhamdulillaahilladzii laa ilaaha illa huwa, wahdahu laa syariika lah. Laa na'budu illa iyyah. Wa laa haula wa laa quwwata illa billaah.

Referensi: Atsar al-Iman bi Shifatillahi fi Sulukil 'Abdi cet. 1433 H karya Syaikh Ahmad bin Muhammad an-Najjar, hal. 13-20