Mari Belajar dan Terus Belajar, Membenahi Diri
65 hari 16 jam 10 menit 45 detik
Menuju Awal Puasa Ramadhan 2023

23 Maret 2023

Selasa, 01 Desember 2015

MENGINGAT-INGAT NIKMAT ALLAH



NIKMAT yang Allah berikan memang tidak terhingga. Terlampau banyak dan tak satu pun yang dapat menghitungnya. Itulah yang tersurat dalam kitab suci Al-Quran dan begitu pula kenyataannya.
Tidak terhingganya nikmat dari Allah, bukan berarti kita dilarang untuk menghitungnya. Jika itu yang ada di dalam pikiran kita, menurut hemat saya segeralah di-delete. Kita tidak dilarang untuk menghitung-hitung nikmat Allah. Sebab, menghitung-hitung nikmat Allah, insya Allah akan ada gunanya.
Mari kita sama-sama buktikan. Bagaimana kabar para pembaca sekalian? Sehatkah?
Jika para pembaca dalam keadaan sehat, Alhamdulillah. Dengan kondisi tubuh yang sehat, kita bisa melakukan berbagai aktivitas. Bisa bertemu dengan teman-teman sekolah, sist and bro di kampus. Bertukar pikiran dan bercanda ria dengan mereka. Bisa mendapat ilmu atau memberikan ilmu kepada siapa saja.
Dengan tubuh yang sehat, kita dapat mencari nafkah. Berdagang di pasar, bertemu dengan para pembeli. Bekerja di kantor, bekerja sama dengan teman-teman satu tim untuk mewujudkan target-target perusahaan dan seterusnya.
Menyadari nikmat sehat akan menyadarkan kita pada nikmat-nikmat lainnya yang merupakan ‘turunan’ dari nikmat sehat.
‘Ngeh’ dengan nikmat sehat yang ada pada diri, akan mengingatkan diri pada kondisi seminggu yang lalu. Badan terasa panas, makan terasa pahit, tidur merasa terganggu dan terpaksa lama berbaring di tempat tidur. Pada saat itulah, kita mengetahui betapa berharganya kesehatan.
Bukan itu saja, dengan menghitung-hitung nikmat sehat, kita jadi mau melihat pada kondisi orang lain yang sedang sakit. Ini juga akan menggugah diri kita.
Ada sebuah kisah yang menggugah diri dan diawali dengan menyadari nikmat diri yang telah diterima. Masih ingatkah para pembaca dengan dampak positif dari novel Laskar Pelangi, karya Andrea Hirata? Dalam salah satu tayangan Kick Andy, dikisahkan sebuah kisah menarik.
Seorang ibu mengisahkan keprihatinan dirinya terhadap anaknya yang sudah kecanduan narkotika. Salah satu yang memberatkan keprihatinannya adalah akibat barang haram itu, kuliah si anak menjadi terbengkalai dan tidak kunjung selesai.
Hingga pada suatu hari si ibu membelikan buah hatinya itu novel Laskar Pelangi. Ternyata novel itu dibacanya. Sampai pada suatu ketika, si ibu mendengar tangisan dari dalam kamar anaknya. Ketika ditanya, barulah tahu si ibu penyebab tangisan itu.
Apa penyebab tangisan itu? Iya, si anak menyadari betapa dirinya tidak berterima kasih kepada kedua orang tuanya yang telah mengeluarkan biaya yang banyak untuk kuliahnya. Sementara itu, anak-anak yang dikisahkan dalam novel, sulit sekali memperoleh pendidikan. Karena kondisi perekonomian yang amat terbatas.
Sejak itu, si anak mulai membenahi diri. Dia kembali rajin ke kampus untuk menyelesaikan kuliahnya. Kesadaran dapat tergugah, karena menghitung-hitung nikmat Allah.
Pernahkah para pembaca menghadapi sebuah kondisi yang begitu teramat memprihatinkan? Perusahaan tempat bekerja gulung tikar dan sulit untuk kembali memperoleh pekerjaaan. Sementara uang sekolah anak belum dilunasi hingga beberapa bulan. Belum lagi, istri yang sakit-sakitan dan terpaksa dirawat di rumah sakit.
Di saat itulah Allah menolong lewat tangan-tangan orang dermawan. Bapak dermawan itu tersentuh hatinya begitu tahu kondisi kita yang memprihatinkan. Hingga dia membayarkan biaya operasi istri kita, melunasi biaya rawat inap selama sebulan. Uang anak sekolah yang tertunggak, juga dilunasinya. Bukan itu saja, kita yang sedang menganggur diberi kesempatan untuk bekerja di kantor milik bapak dermawan itu.
Bagaimana jika kondisi di atas berubah 180 derajat? Perusahaan bapak dermawan itu gulung tikar dan dia menjadi pengangguran. Sementara itu kita yang sudah pindah bekerja, karirnya semakin menanjak hingga menduduki jabatan yang menentukan. Kemudian datanglah bapak dermawan itu ke kantor kita. Dia melamar pekerjaan dan langsung berhadapan dengan kita.
Bagaimana sikap kita? Tentu kita akan langsung menolongnya. Bahkan bukan itu saja, mungkin kita akan bersedia menggajinya dengan nilai nominal tertinggi tanpa ada lagi tawar-menawar. Jika anak bapak dermawan itu sedang dirawat di rumah sakit, kita segera menyingsingkan lengan baju.
Mengapa sikap kita bisa otomatis seperti itu? Langsung dan segera menolongnya? Jawabannya, karena kita mengingat jasa bapak dermawan itu.
Semakin banyak kita mengingat-ingat jasa bapak dermawan itu, maka makin besar pula dorongan kita untuk menolongnya. Sebaliknya bila kita tidak peduli dengan jasa orang lain di masa lalu, bahkan kita telah melupakannya, maka tidak akan tergerak diri ini untuk berbuat sesuatu.
Apa jadinya bila kita melupakan ‘jasa’ Allah pada kita? Kita melupakan bahwa diri ini dulunya pernah tidak ada dan menjadi ada. Kita melupakan bahwa diri ini hidup di dunia dengan berbagai fasilitas yang tersedia dan siap pakai. Kita hidup di bumi ini diberi ‘buku petunjuk’ agar hidup menjadi bermakna dan bahagia.
Jika kita merenungkan ayat-ayat di bawah ini, kita pun menjadi tahu bahwa menghitung-hitung nikmat Allah tidak dilarang. Bahkan Allah memerintahkannya.
“Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya.” (QS. Ali Imran (3): 103).
“Hai Bani Israel, ingatlah akan nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku telah melebihkan kamu atas segala umat.” (QS. Al-Baqarah (2): 47).
Karena banyaknya nikmat yang Allah berikan, sepertinya kita tidak bisa menyebutkan nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada kita di tahun 2013 yang sebentar lagi akan habis.
Andaikan kita mengingat beberapa nikmat yang Allah berikan di tahun 2013 dan kita telah mensyukurinya, mungkin kita melupakan nikmat selanjutnya yang Allah tambahkan sebagai akibat dari rasa syukur kita.