Mari Belajar dan Terus Belajar, Membenahi Diri
65 hari 16 jam 10 menit 45 detik
Menuju Awal Puasa Ramadhan 2023

23 Maret 2023

Selasa, 20 September 2016

"KEUTAMAAN SABAR"


 

Dari al Ihya ‘Ulumuddin, Imam al Ghazaly

Allah Ta’ala sesungguhnya telah menyifatkan orang-orang yang sabar dengan beberapa sifat.Allah Ta’ala menyebutkan sabar dalam Al Qur’an pada lebih tujuh puluh tempat.Ia menambahkan lebih banyak derajat dan kebajikan kepada sabar.Ia menjadikan derajat dan kebajikan itu sebagai hasil (buah) dari sabar.

Maka Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : “Dan Kami jadikan di antara mereka itu beberapa pemimpin yang akan memberikan pimpinan dengan perintah Kami, yaitu ketika mereka berhati teguh (sabar)”(QS. 32:24).

Allah Ta’ala berfirman: “Dan telah sempurnalah perkataan yang baik dari Tuhan engkau untuk Bani Israil, disebabkan keteguhan hati (kesabaran)mereka” (QS 7:137).

Allah Ta’ala berfirman: “Dan akan Kami berikan kepada orang-orang yang sabar itu pembalasan,menurut yang telah mereka kerjakan dengan sebaik-baiknya”(QS.16:96).

Allah Ta’ala berfirman: “Kepada orang-orang itu diberikan pembalasan (pokok) dua kali lipat,disebabkan kesabaran mereka”. (QS. 28:54)

Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orangorang yang sabar itu, akan disempurnakan pahalanya dengan tiada terhitung “. (QS 39:10).

Maka tidak ada dari pendekatan diri manusia kepada Allah (ibadah), melainkan pahalanya itu ditentukan dengan kadar dan dapat dihitung, selain sabar.

Dan sesungguhnya adanya puasa itu sebagian dari sabar dan puasa itu separuh sabar,maka Allah Ta’ala mengaitkan puasa itu bagi orang-orang yang bersabar, bahwa Ia bersama mereka.

Allah Ta’ala berfirman: “Hendaklah kamu bersabar, sesungguhnya Allah itu bersama orang-orang yang sabar”. (QS. 8:46).

Allah Ta’ala menggantungkan pertolongan kepada sabar. Allah Ta’ala berfirman:“Ya! Kalau kamu sabar dan memelihara diri, sedang mereka datang kepadamu (menyerang) dengan cepatnya,Tuhan akan membantu kamu dengan lima ribu malaikat yang akan membinasakan”. (QS. 3:125).

Allah Ta’ala mengumpulkan bagi orang-orang yang sabar, beberapa hal yang tidak dikumpulkannya bagi orang-orang lain. Allah Ta’ala
berfirman:“Merekalah orang-orang yang mendapat ampunan, kehormatan dan rahmat dari Tuhan dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. 2:157).

Adapun hadits-hadits yang menyangkut dengan sabar, maka di antara lain, Nabi s.a.w. bersabda : ”Sabar itu separuh iman”.

Nabi s.a.w. bersabda : “Dari yang sekurangkurangnya diberikan kepada kamu, ialah : keyakinan dan kesungguhan sabar.Siapa yang diberikan keberuntungan dari keyakinan dan kesungguhan sabar itu, niscaya ia tidak peduli dengan yang luput dari padanya, dari shalat malam dan puasa siang. Dan engkau bersabar di atas
apa yang menimpa atas diri engkau, adalah lebih aku sukai, daripada disempurnakan oleh setiap orang daripada kamu, kepadaku, dengan seperti amalan semua kamu.Akan tetapi aku takut,bahwa dibukakan kepadamu dunia sesudahku.Lalu sebagian kamu menetang sebagian yang lain.Dan akan ditantang kamu oleh penduduk langit (para malaikat) ketika itu. Maka siapa yang sabar dan memperhitungkan diri, niscaya memperoleh kesempurnaan pahalanya”.

Kemudian Nabi s.a.w.membaca firman Allah Ta’ala:“Apa yang di sisi kamu itu akan hilang dan apa yang di sisi Allah itu yang kekal. Dan akan Kami berikan kepada orang-oang yang sabar itu pembalasan, menurut yang telah mereka kerjakan dengan sebaik-baiknya”. (QS. 16:96).

Diriwayatkan Jabir, bahwa Nabi s.a.w ditanyakan tentang iman, maka beliau menjawab:“Sabar dan suka memaafkan”.

Nabi s.a.w. bersabda pula: “amal yang paling utama ialah apa yang dipaksakan diri daripadanya”.

Dikatakan bahwa Allah Ta’ala menurunkan wahyu kepada nabi Daud a.s.: “Berakhlaklah dengan akhlak-KU! Sesungguhnya sebagian dari akhlak-Ku, ialah, bahwa Aku Maha Sabar”.

Pada hadits yang diriwayatkan ‘Atha’ dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Rasulullah s.a.w. masuk ke tempat orang-orang Anshar, lalu beliau bertanya:“Apakah kamu ini semua orang beriman?”. Lalu semua mereka diam. Maka menjawab Umar r.a.:“Ya, wahai Rasulullah!”.Nabi s.a.w. lalu bertanya: “Apakah tandanya keimanan kamu itu?”Mereka menjawab: “Kami bersyukur atas kelapangan. Kami bersabar atas cobaan. Dan kami rela dengan ketetapan Tuhan (qadha Allah Ta’ala)”.Lalu Nabi s.a.w. menjawab: “Demi Tuhan pemilik Ka’bah! Benar kamu itu orang beriman!”.

Nabi s.a.w. bersabda: “Pada kesabaran atas yang tidak engkau sukai itu banyak kebajikan”.

Isa Al-Masih a.s. berkata: “Engkau sesungguhnya tiada akan memperoleh apa yang engkau sukai, selain dengan kesabaranmu atas apa yang tiada engkau sukai”.

Rasulullah s.a.w. bersabda: “Jikalau sabar itu seorang laki-laki, niscaya dia itu orang yang pemurah. Dan Allah Ta’ala menyukai orang-orang yang sabar”.

Adapun atsar, maka di antaranya ialah terdapat pada surat khalifah Umar bin al-Khatab r.a. kepada Abu Musa Al-Asy’ari r.a., yang bunyinya di antara lain: “Haruslah engkau bersabar! Dan ketahuilah,bahwa sabar itu dua. Yang satu lebih utama dari yang lain: sabar pada waktu musibah itu baik.Dan yang lebih baik daripadanya lagi, ialah sabar (menahan diri) dari yang diharamkan Allah Ta’ala.Dan ketahuilah, bahwa sabar itu yang memiliki iman. Yang demikian itu, adalah bahwa takwa itu kebajikan yang utama. Dan takwa itu dengan sabar”.

Ali r.a. berkata: ”Iman itu dibangun di atas empat tiang: yakin, sabar, jihad dan adil.”

Ali r.a.berkata pula: “Sabar itu dari iman, adalah seperti kedudukan kepala dari tubuh. Tidak ada tubuh bagi orang yang tidak mempunyai kepala. Dan tidak ada iman, bagi orang yang tiada mempunyai kesabaran”.

Umar r.a. berkata: “Amat baiklah dua pikulan yang sebanding dan amat baiklah tambahan bagi orang-orang yang sabar. Dimaksudkan dengan dua pikulan yang sebanding itu, ialah ampunan dan rahmat. Dan dimaksudkan dengan tambahan itu, ialah petunjuk. Dan tambahan itu, adalah apa yang dibawa di atas dua pikulan yang sebanding tadi atas unta”.Diisyaratkan oleh Umar r.a. dengan yang demikian itu kepada firman Allah Ta’ala: “Merekalah orang-orang yang mendapat ampunan dan rahmat dari Tuhan dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. 2:157).

Adalah Habib bin Abi Habib Al Bashari, apabila membaca ayat di bawah ini:“Sesungguhnya dia (Ayub) kami dapati,seorang yang sabar. Seorang hamba yang amat baik. sesungguhnya dia tetap kembali (kepada Tuhan)” (QS. 38:44). Lalu beliau menangis dan berkata: “Alangkah menakjubkan! Ia yang memberi dan Ia yang memujinya.”

Abu’d-Darda r.a mengatakan: “Ketinggian iman itu, ialah: sabar karena hukum Allah dan rela dengan takdir Allah Ta’ala”.
Inilah penjelasan keutamaan sabar, dari segi yang dinukilkan (dari ayat, hadits dan atsar).

Kesabaran adalah ibadah qalbu kita, ia merupakan hal yang utama yang akan membawa seseorang dianugerahkan sifat-sifat baik. Dan tentu kita tiada pernah akan tahu faedah sabar, apabila kita tiada pernah mencoba untuk sabar. Kiranya kita beroleh taufik dari Allah SWT.


Kamis, 08 September 2016

CARA MENGENAL ALLAH



Syeikh Ahmad Arifin berpendapat bahwa setiap yang ada pasti dapat dikenal dan hanya yang tidak ada yang tidak dapat dikenal. Karena Allah adalah zat yang wajib al-wujud yaitu zat yang wajib adanya, tentulah Allah dapat dikenal, dan kewajiban pertama bagi setiap muslim adalah terlebih dahulu mengenal kepada yang disembahnya, barulah ia berbuat ibadah sebagimana sabda Nabi :
أَوَلُ الدِّيْنِ مَعْرِفَةُ اللهِ
Artinya: “Pertama sekali di dalam agama ialah mengenal Allah

Kenallah dirimu, sebagaimana sabda Nabi SAW
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ وَمَنْ عَرَفَ رَبَّهُ فَسَدَ جَسَدَهُ
Artinya: “Barangsiapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya, dan barangsiapa yang mengenal Tuhannya maka binasalah (fana) dirinya.
            Lalu diri mana yang wajib kita kenal? Sungguhnya diri kita terbagi dua sebagaimana firman Allah dalam surat Luqman ayat 20 :
وَأَسْبَغَ عَليْكُمْ نِعَمَهُ ظَهِرَةً وَبَاطِنَةً
Artinya : Dan Allah telah menyempurnakan bagimu nikmat zahir dan nikmat batin.

Jadi berdasarkan ayat di atas, diri kita sesungguhnya terbagi dua:
1.  Diri Zahir yaitu diri yang dapat dilihat oleh mata dan dapat diraba oleh tangan. 
2. Diri batin yaitu yang tidak dapat dipandang oleh mata dan tidak dapat diraba oleh tangan, tetapi dapat dirasakan oleh mata hati. 

Adapun dalil mengenai terbaginya diri manusia Karena sedemikian pentingnya peran diri yang batin ini di dalam upaya untuk memperoleh pengenalan kepada Allah, itulah sebabnya kenapa kita disuruh melihat ke dalam diri (introspeksi diri)  sebagimana firman Allah dalam surat az-Zariat ayat 21 :
وَفِى اَنْفُسِكُمْ اَفَلاَ تُبْصِرُوْنَ
Artinya : Dan di dalam diri kamu apakah kamu tidak memperhatikannya.


Allah memerintahkan kepada manusia untuk memperhatikan ke dalam dirinya disebabkan karena di dalam diri manusia itu Allah telah menciptakan sebuah mahligai yang mana di dalamnya Allah telah menanamkan rahasia-Nya sebagaimana sabda Nabi di dalam Hadis Qudsi :
بَنَيْتُ فِى جَوْفِ اِبْنِ آدَمَ قَصْرًا وَفِى الْقَصْرِ صَدْرً وَفِى الصَّدْرِ قَلْبًا وَفِى الْقَلْبِ فُؤَادً وَفِى الْفُؤَادِ شَغْافًا وَفِى الشَّغَافِ لَبًّا وَفِى لَبِّ سِرًّا وَفِى السِّرِّ أَنَا (الحديث القدسى) 
Artinya: “Aku jadikan dalam rongga anak Adam itu mahligai dan dalam mahligai itu ada dada dan dalam dada itu ada hati (qalbu) namanya dan dalam hati (qalbu) ada mata hati (fuad) dan dalam mata hati (fuad) itu ada penutup mata hati (saghaf) dan dibalik penutup mata hati (saghaf) itu ada nur/cahaya (labban), dan di dalam nur/cahaya (labban) ada rahasia (sirr) dan di dalam rahasia (sirr) itulah Aku kata Allah”. (Hadis Qudsi)

Bagaimanakah maksud hadis ini? Tanyalah kepada ahlinya, yaitu ahli zikir, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Nahal ayat 43 :
فَاسَئَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لاَتَعْلَمُوْنَ
Artinya: “Tanyalah kepada ahli zikrullah (Ahlus Shufi) kalau kamu benar-benar tidak tahu.”
            
Karena Allah itu ghaib, maka perkara ini termasuk perkara yang dilarang untuk menyampaikannya dan haram pula dipaparkan kepada yang bukan ahlinya (orang awam), seabagimana dikatakan para sufi :
وَلِلَّهِ مَحَارِمٌ فَلاَ تَهْتَكُوْهَا
Artinya: “Bagi Allah itu ada beberapa rahasia yang diharamkan membukakannya kepada yang bukan ahlinyah”.

Nabi juga ada bersabda :
وَعَائِيْنِ مِنَ الْعِلْمِ اَمَّا اَحَدُ هُمَا فَبَشَتْتُهُ لَكُمْ وَاَمَّااْلأَخِرُ فَلَوْبَثَتْتُ شَيْئًا مِنْهُ قَطَعَ هَذَالْعُلُوْمَ يَشِيْرُ اِلَى حَلْقِهِ  
Artinya: “Telah memberikan kepadaku oleh Rasulullah SAW dua cangkir yang berisikan ilmu pengetahuan, satu daripadanya akan saya tebarkan kepada kamu. Akan tetapi yang lainnya bila saya tebarkan akan terputuslah sekalian ilmu pengetahuan dengan memberikan isyarat kepada lehernya.
اَفَاتُ الْعِلْمِ النِّسْيَانُ وَاِضَاعَتُهُ اَنْ تَحَدَّثْ بِهِ غَيْرِ اَهْلِهِ
Artinya : “Kerusakan dari ilmu pengetahuan ialah dengan lupa, dan menyebabkan hilangnya ialah bila anda ajarkan kepada yang bukan ahlinya.”


Adapun tentang Ilmu Fiqih atau Syariat Nabi bersabda:
بَلِّغُوْا عَنِّى وَلَوْ اَيَةً
Artinya: “Sampaikanlah oleh kamu walau satu ayat saja”.


Adapun Ilmu Fiqih tidak boleh disembunyikan, sebagaimana sabda Nabi SAW:
مَنْ كَتَمَ عِلْمًا لِجَمِّهِ اللهِ بِلِجَامٍ مِنَ النَّارِ
Artinya: “Barangsiapa yang telah menyembunyikan suatu ilmu pengetahuan (ilmu syariat) akan dikekang oleh Allah ia kelak dengan api neraka”.

            Adapun ilmu hakikat atau ilmu batin memang tidak boleh disiar-siarkan kecuali kepada orang yang menginginkannya. Memberikan dan mengajarkan ilmu hakikat kepada yang bukan ahlinya ditakuti jadi fitnah disebabkan pemikiran otak sebahagian manusia ini tidak sampai mendalami ke lubuk dasarnya yaitu ilmu Allah Ta’ala. Ibarat kayu di hutan tidak sama tingginya, air di laut tidak sama dalamnya, dan tanah di bumi tidak sama ratanya, demikian halnya dengan manusia. Maka ahli Zikir (ahlus Shufi) inilah yang mendekati maqam wali-wali Allah yang berada di bawah martabat para nabi dan rasul. Inilah makna tujuan Allah memerintahkan supaya bertanya kepada ahli Zikir, karena ahli Zikir adalah orang-orang yang senantiasa hati dan pikirannya selalu ingat kepada Allah serta senantiasa mendapat bimbingan ilham dari Allah SWT.
            Oleh karena itu, agar kita dapat mengenal Allah, maka kita harus mempunyai pembimbing rohani atau mursyid. Tentang hal ini Abu Ali ats-Tsaqafi bertaka, “seandainya seseorang mempelajari semua jenis ilmu dan berguru kepada banyak ulama, maka dia tidak sampai ke tingkat para sufi kecuali dengan melakukan latihan-latihan spiritual bersama seorang syeikh yang memiliki akhlak luhur dan dapat memberinya nasehat-nasehat. Dan barang siapa yang tidak mengambil akhlaknya dari seorang syeikh yang melarangnya, serta memperlihatkan cacat-cacat dalam amalnya dan penyakit-penyakit dalam jiwanya, maka dia tidak boleh diikuti dalam memperbaiki muamalah”.
            Namun tidaklah ilmu pengenalah kepada Allah ini diperoleh dengan mudah begitu saja seperti mempelajari ilmu syari’at, karena ada satu syarat yang paling utama yang harus dilakukan terlebih dahulu yaitu mengambil ilmu ini dengan dibai’at oleh seorang mursyid yang kamil mukamil yang masuk dalam rantai silsilah para syeikh tarekat sufi yang bersambung-sambung sampai kepada Rasulullah SAW. Oleh karena itu jalan satu-satunya bagi kita untuk dapat mengenal Allah adalah dengan mempelajari ilmu tarekat di bawah bimbingan seorang mursyid.

Tanya : Mengapa hati memegang peran penting di dalam mengenal Allah?
Jawab : Bila kita sebut nama hati, maka hati yang dimaksud di sini bukanlah hati yang merah tua seperti hati ayam yang ada di sebelah kiri yang dekat jantung kita itu. Tetapi hati ini adalah alam ghaib yang tak dapat dilihat oleh mata dan alat panca indra karena ia termasuk alam ghaib (bersifat rohani). Tiap-tiap diri manusia memiliki hati sanubari, baik manusia awam maupun manusia wali, begituja para nabi dan rasul. Pada hati sanubari ini terdapat sifat-sifat jahat (penyakit hati), seperti : hasad, dengki, loba, tamak, rakus, pemarah, bengis, takbur, ria, ujub, sombong, dan lain-lain. Tetapi bilamana ia bersungguh-sungguh di dalam tarekatnya di bawah bimbingan mursyidnya, maka lambat laun hati yang kotor dan berpenyakit tadi akan bertukar bentuknya dari rupa yang hitam gelap pekat menjadi bersih putih dengan mengikuti kegiatan suluk atau khalwat secara kontinyu. Manakala hati yang hitam tadi telah berubah menjadi putih bersih, barulah ia memberikan sinar. Hati yang putih bersih bersinar itulah yang dinamakan hati Rohani (Qalbu) atau disebut juga dengan diri yang batin.
            Seumpama kita bercermin di depan kaca, maka kita tidak akan dapat melihat apa yang ada dibalik cermin selain muka kita, karena terhalang oleh cat merah yang melekat disebaliknya. Tetapi bila cat merah itu kita kikis habis, maka akan tampaklah di sebaliknya bermacam-macam dan berlapis-lapis cermin hingga sampai menembus ke alam Nur, alam Jabarut, alam Lahut, hingga alam Hadrat Hak Allah Ta’ala.
            Itulah sebabnya bila kita hanya baru sebatas mengenal hati sanubari saja, maka yang kita lihat hanya diri kita saja, sebab ditahan oleh cat merah tadi, yaitu sifat-sifat jahat seperti: takabbur, ria, ujub, dengki, hasad, pemarah, loba, tamak, rakus, cinta dunia, dan berbagai penyakit hati lainnya. Tetapi bila mana cat merah itu telah terkikis habis, barulah ia akan menyaksikan alam yang lebih tinggi dan mengetahuilah ia segala rahasia termasuk dirinya dan hakikatnya dan juga alam seluruhnya dan akhirnya mengenallah ia akan Tuhannya. Itulah sebabnya para wali-wali Allah itu lahir dari para sufi yaitu orang-orang yang telah berhasil membersihkan hatinya dengan bantuan mursyidnya pada zahir sedang pada hakikatnya dengan qudrat dan iradat Allah Ta’ala. Di sinilah terletak wajibnya mengenal diri untuk jalan mengenal Allah.

Selasa, 28 Juni 2016

"MUHASABAH" >> BELAJAR DARI KEHIDUPAN

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرٌۢ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿١٨﴾
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. "

(Q.S.59:18)
Syaikh Abdur Rahman As Sa'diy mengatakan, '' Ayat ini merupakan dalil pokok yang menggugah seorang hamba untuk melakukan introspeksi terhadap dirinya. Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi seorang hamba untuk besikap objektif terhadap dirinya. Jika dia melihat dirinya salah hendaklah dia menanggulanginya dengan meninggalkan kesalahan, bertobat dan berpaling dari hal yang menyebabkan dia melakukan kesalahan itu. Jika dia melalaikan hal yang diperintahkan Allah maka dengan sendirinya dia berusaha dengan segenap kemampuanya dengan meminta tolong kepada Allah agar dia mampu meluruskan, menyempurnakan dan merapikanya. Selanjutnya dia harus menimbang antara karunia yang telah diberikan oleh Allah kepadanya dan kelalaian yang telah dilakukanya terhadap hak Allah, maka sudah dapat dipastikan perasaan ini akan menumbuhkan rasa malu dalam dirinya.''

Kata Muhasabah memiliki arti bila engkau menghitung sesuatu. Al Mawardi mendefinisikan muhasabah dengan, '' bila seseorang pada malam harinya membuka kembali lembaran perbuatan yang telah dilakukanya siang hari. Jika ternyata perbuatan itu terpuji , ia melanjutka pada hari berikutnya dan mengiringinya dengan perbuatan yang serupa. Sebaliknya jika ternyata perbuatan itu tercela, maka dia membersihkannya jika mampu dan jika tidak, maka mengiringinya dengan kebaikan untuk menghapusnya, lalu menghentikan perbuatan yang semisal pada masa yang akan datang.''

Imam Ibnu Qayyim mengatakan bahwa muhasabah ada dua macam,yaitu :

1. Muhasabah sebelum berbuat
Hal ini dilakukan sebelum melakuakan suatu perbuatan dengan meluruskan niat , pikiran, kehendak dan tekad yang ada di dalam jiwa. Ada beberapa pertanyaan yang bisa ditanyakan terhadap diri kita sebelum melakukan sesuatu :
A. Apakah pebuatan yang akan kita lakukan dapat kita kuasai atau tidak?
B. Apakah melakukanya lebih baik daripada meninggalkanya?
C. Apakah kita melakukanya ikhlas karena Allah atau tidak?
D. Apa sarana yang dapat membantu untuk merealisasikanya.

2. Muhasabah setelah beramal
Ibnu Qayim membagi menjadi 3 lagi:
A. Muhasabah terhadap hak-hak Allah.
B. Muhasabah terhadap perbuatan yang telah ditinggalkan karena lbih baik daripada mengerjakanya.
C. Muhasabah terhadap hal yang mubah, apakah dilakukan karena Allah atau hanya sebagai kebiasaan harian saja.

Ibnu Qayyim juga memberikan tips darimana kita mulai muhasabah, beliau berkata,'' Hendaklah seseorang memulai dengan amalan fardhu, jika disana terdapat kekurangan maka lengkapilah. Kemudian beralih kepada hal-hal yang dilarang, jika dia melakukan kesalahan ini maka segeralah betobat, memohon ampun dan mngerjakan amal-amal kebaikan untuk menghapusnya. Kemudian mmuhasabah kelalaian yang dilakukan terhadap tujuan yang melatarbelakangi pencipttaan dirinya. Jika terdapat kelalaian maka hendaklah menanggulangi dengan banyak berdzikir kepada Allah. Kemudian menghisab apa-apa yang telah dilakukan anggota tubuhnya, apakah untuk ketaatan kepada Allah atau kemaksiyatan.

Di anjurkan pula bagi sorang hamba pada pemulaan harinya untuk berpesan kepada dirinya untuk mlakukan kebaikan. Selanjutnya dipenghujung siang harinya dianjurkab menentukan suatu saat untuk mengevaluasi semua gerak dan sepak terjang yang telah dilakukan sejak permulaan siang hari. 

Muhasabah diumpamakn oleh ulama adalah perhitungan yang dilakukan oleh teman seperseroan dalam usaha yang sangat kikir terhadap teman usahanya. Hal ini menggambarkan bahwa manusia harus teliti dalam mengaudit dirinya sendiri, memeriksa berbagai perkara dengan sangat ketat.

Para salafushalih juga kadang menghukum dirinya jika melakukan kealpaan. Mereka menghukum dirinya  dengan cara memaksakan kepadanya untuk mengerjakan hal-hal yang diwajibkan atau hal-hal yang disunahkan untuk mengganti perbuatan haram yang dilakukanya.

Khalifah umar menghukum dirinya ketika dia telaat melakukan shalat asar berjamaah dengan cara menshadaqahkan sebidang tanah yang harganya mencapai 200000 dirham.
Ibnu Umar apabila terlewatkan dari sholat berjama'ah maka dia menghidupkan sepanjang malamnya dengan sholat sunnah. Dia pernah mengakhirkan waktu sholat maghrib karena suatu hal maka sebagai hukuman akan hal itu dia memerdekakan dua orang budak.
Ibnu Abu Rabi'ah pernah ketinggalan dua rakaat sunah fajar, maka sebagai hukumanya ia memerdekakan seorang budak.

Itulah muhasabah para salaf, pendahulu kaum muslimin. Mereka melakukanya setiap waktu dan mereka melakukan untuk kepentinganya di akhirat kelak. Bukan hanya ketika akhir tahun dan hanya untuk kehidupan dunia yang hina. Maka jika kita bandingkan diri kita dengan para salaffusshalih maka sungguh sangat jauh keadaan kita. 

Semoga Allah memberikan karunia kepada kami dan jagalah kami dari siksa Api Neraka. Amien.

Wallahu 'alam bi shawab
.

Kamis, 09 Juni 2016

" RAMADHAN, BULAN MEMBENTUK AKHLAQ DAN MERAIH RAHMAT "

Ramadhan telah tiba. Semua element masyarakat muslim menyambut datangnya bulan istimewa ini dengan segala kegembiraan, dan suka cita karena kerinduan yang mendalam ingin bertemu dengan “Bulan Ramadhan”.
Bulan Ramadhan merupakan bulan yang penuh barakah, nikmat serta bulan yang banyak memberikan pelajaran dan pendidikan yang berharga bagi umat Islam sebab dengan datangnya bulan yang istimewa ini, masyarakat muslim banyak belajar bersabar dalam menghadapi permasalahan, tidak mudah marah, bersikap loyal terhadap sesama tetangga dan memiliki sikap empati dan peduli terhadap penderitaan orang lain. Yang kesemuanya itu tidak lepas dari turut andilnya Bulan Ramadhan dalam pembentukan akhlak terpuji serta meraih rahmat Allah SWT.
Akhlaq terpuji merupakan hal yang harus dimiliki oleh setiap muslim, karena akhlak terpuji merupakan salah satu identitas seorang muslim bahkan keimanan seorang muslim dikatakan tidak sempurna sehingga dia memiliki akhlak yang tepuji, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «أكمل المؤمنين إيماناً أحسنهم خلقاً
Dari abu Hurairah berkata : Rasulullah saw bersabda : ” Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah orang mu’min yang paling baik akhlaknya diantara kalian” ( H.R. Imam Ahmad )
Dari sabda Rasulullah saw diatas menunjukkan bahwa akhlak yang terpuji merupakan masalah yang urgen yang harus dimiliki oleh setiap muslim, oleh sebab itu hendaknya setiap pribadi yang mengaku dirinya seorang muslim hendaknya dia memiliki akhlak yang terpuji sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, karena Rasulullah lah suri tauladan dan panutan yang paling pantas dan baik.
Karena begitu pentingnya Akhlak yang terpuji bagi seorang Muslim bahkan dikatakan pula bahwa Akhlak merupakan simbol atau icon bagi seorang Muslim, maka disini akan dipaparkan secara sederhana mengenai manfaat Akhlak bagi Umat serta Peran bulan Ramadhan dalam membina Akhlak Umat
1. Pembinaan akhlak terpuji melalui bulan Ramadhan
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam atas Rasulullah saw beserta keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang mendukungnya, selanjutnya, Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
 “Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa”. (Al-Baqarah:183).
Ayat diatas menegaskan akan tujuan utama diwajibkannya puasa, yaitu untuk menghidupkan taqwa di dalam hati, menumbuhkan akhlak yang mulia dalam jiwa, sebagaimana ia juga betujuan untuk memunculkan spirit baru bagi orang-orang beriman. Puasa merupakan salah satu sarana dari itu semua, karena ia mampu meningkatkan sisi rohani dan akhlaki bagi orang yang berpuasa, sehingga mampu memperkokoh kehendaknya dan membawanya untuk taat dan patuh terhadap apa yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, dan mencegahnya dari sesuatu yang berasal dari ucapan dan perbuatan yang tidak layak, melindunginya dari tunduk kepada syahwat dan mengikuti hawa nafsu yang selalu mengajak pada kejahatan, sebagaimana mencegah dirinya dari ucapan kotor, dosa, dan permusuhan atas orang lain, sebagaimana dalam hadits disebutkan:
والصِّيامُ جُنَّة، وإِذا كانَ يومُ صومِ أحدِكم فلا يَرفُثْ ولا يَصخَب، فإِن سابَّهُ أحدٌ أو قاتَلهُ فلْيَقُلْ إِني امرؤٌ صَائِم.
“Puasa itu ibarat perisai. Pada saat puasa, janganlah kamu mengucapkan kata-kata kotor, tidak sopan dan tidak enak didengar, dan jangan pula ribut bertengkar. Jika di antara kalian ada yang memaki atau mengajak berkelahi, hendaknya dikatakan kepadanya, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa”. (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’I, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban)
Disamping itu, Puasa secara tidak langsung juga dapat melatih diri untuk bersabar dan menahan hawa nafsu, seperti jika ada seseorang yang mencelanya atau mengajak berkelahi maka secara otomatis orang yang berpuasa akan mengatakan bahwa dirinya sedang berpuasa dan diapun enggan melakukan perbuatan yang tercela.
فإِن سابَّهُ أحدٌ أو قاتَلهُ فلْيَقُلْ إِني امرؤٌ صَائِم
. Jika di antara kalian ada yang memaki atau mengajak berkelahi, hendaknya dikatakan kepadanya, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa”.
Dari pemaparan hadits diatas kita dapat mengetahui bahwa puasa mempunyai andil yang cukup besar dalam pembentukan akhlak terpuji bahkan dia merupakan perisai yang dapat mencegah atau menghalangi seseorang yang ingin berbuat maksiat yang berakhir pada dosa dan murka Allah SWT.
Puasa juga memiliki manfaat yang tiada duanya, yaitu manfaat mendapatkan sesuatu dan terhindar dari sesuatu. Seperti kita ketahui, naluri manusia selalu berujung pada dua hal, yaitu ingin mendapatkan sesuatu yang enak lagi nikmat serta terhindar dari sesuatu yang tidak enak apalagi menyakitkan. Ibadah Puasa, selain mendapatkan sesuatu yang paling enak yang tiada taranya yaitu surga, juga akan terhindar dari sesuatu yang paling tidak enak yaitu neraka, sebagaimana sabda Rasulullah saw :
عن أبي سعيدٍ الخُدريِّ رضيَ الله عنه قال : سمعتُ النبيَّ صلى الله عليه وسلم يقول: «مَن صامَ يَوماً في سبيلِ الله بَعَّدَ الله وَجهَهُ عنِ النارِ سبعينَ خَريفاً».
Dari abu Sa’id al-Khudri RA berkata : Nabi saw bersabda : “barang siapa yang berpuasa di jalan Allah, maka Allah akan menjauhkan mukanya dari neraka selama tujuh puluh tahun karena puasa hari itu” ( HR. Bukhari )
2. Urgensi Akhak terpuji bagi kebangkitan umat
Akhlak yang baik adalah hal yang terpenting yang harus dimiliki oleh umat Islam karena akhlak merupakan bentuk riil dari agama Islam yang rahmatan lil alamin, maka sangat ironis jika agama Islam yang rahmatan lil alamin ini mempunyai pemeluk yang buruk atau bejat akhlaknya dan sebenarnya eksistensi umat itu tampak pada akhlaknya jika rusak akhlaknya maka akan hilang pula eksistensinya. Oleh sebab itu melalui bulan Ramadhan diharapkan dapat membentuk kembali dan menata kembali dekresi atau penurunan akhlak yang terjadi pada umat Islam saat ini. Dan umat Islam yang mumpuni adalah umat yang mampu mensinergikan dan mengkompormitaskan antara ibadah ruhiyah dan kreatifitas materi, dan antara keberhasilah hidup di dunia dan keberhasilan hidup di akhirat, dan para cendekiawan menyadari bahwa undang-undang saja tidak akan mampu memberikan jaminan dalam memuluskan suatu pekerjaan dan produktifitas yang baik, sementara dari sini (ibadah) akan terwujud ketaqwaan, kemuliaan akhlaq dan pembinaan jiwa yang hidup sebagai tujuan asasi bagi seluruh udang-undang dan syariat, bahkan sebagai tujuan utama dari diutusnya Rasulullah saw, seperti sabda beliau:
عن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «إنما بعثت لأتمم صالح الأخلاق.
Dari Abu Hurairah RA berkata : Rasulullah saw bersadda : “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”. (Ahmad dan ditashih oleh Baihaqi menurut syarat Muslim).
Karena Urgennya akhlak terpuji bagi kebangkitan umat, maka Islam menginginkan melalui ibadah yang mulia pada bulan Ramadhan pada setiap tahunnya untuk mengingatkan umat Islam agar berpegang teguh pada akhlak mulia sehingga mampu merekonstruksi peradaban dan memberi ketenangan hidup di dunia; sebagai rahasia kekuatan dan pondasi kebangkitan serta titik tolak perubahan menuju yang lebih baik. Sebagaimana firman Allah SWT :
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
 “Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Ar-Ra’ad:11)
Perubahan bukanlah hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan atau akan tercipta dengan sekejap seperti dalam mimpi tapi perlu adanya usaha dan kegigihan untuk mewujudkan perubahan tersebut, dan sebenarnya spirit dari perubahan tersebut adalah para pemuda karena dengan adanya pemuda yang memiliki citra dan akhlak yang terpuji maka disitulah titik terang perubahan akan muncul tapi sebaliknya jika spirit perubahan (pemuda) di sini memiliki tabi’at yang tercela dan sulit untuk di rekontruksi ulang, maka disitulah titik awal kehancuran umat islam. oleh sebab itulah para musuh Islam berusaha dengan gigihnya menghancurkan apa yang masih tersisa dari sumber-sumber kekuatan di tengah para pemuda, mereka berusaha untuk mengumbar syahwat para pemuda, mengajak pada hawa nafsu dan melepas akan ikatan agama, akhlak dan sosial, mereka mengerahkan tenaga dan fikiran untuk mendorong masyarakat Islam pada kehancuran akhlaknya. Karena mereka yakin dengan menghancurkan akhlak pemuda Islam maka itu bisa melemahkan generasi Islam yang akan datang. Sebagaimana firman Allah SWT :
وَاللَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا
“Dan Allah hendak menerima tobatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran)”. (An-Nisa:27)
الشَّيْطَانُ يَعِدُكُمُ الْفَقْرَ وَيَأْمُرُكُمْ بِالْفَحْشَاءِ وَاللَّهُ يَعِدُكُمْ مَغْفِرَةً مِنْهُ وَفَضْلًا وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
” Setan menjanjikan ( menakut-nakuti ) kemiskinan kepadamu dan menyuruh kamu berbuat keji, sedangkan Allah menjanjikan ampunan dan karuniaNya kepadamu. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui” ( al-Baqarah : 268 )
Maka sepatutnya, bagi Umat Islam hendaknya kembali kepada ketaqwaan yang merupakan tujuan utama dari ibadah puasa yang mulia ini serta lebih berhati-hati terhadap godaan musuh Islam yang senantiasa datang mengganggu dan mengahasut umat Islam untuk berpaling dari kebenaran.

Semoga bermanfaat...!!!
Wallahu a’lam bisshawab.